Kamis, 05 Mei 2011

Donna Donna

Sore ini saya membuka-buka internet dan menemukan blog yang mengulas lagu “Dona-Dona”. Lagu yang menjadi salah satu soundtrack di film “Soe Hok Gie".


Diceritakan bahwa ternyata lagu ini berbau Yahudi, lagu ini menceritakan anak sapi yang digiring ke pembantaian, mencerminkan situasi orang-orang Yahudi pada masa Holocaust. Dan betapa sang pemilik blog awalnya menyukai lagu itu. Tetapi setelah tahu lagu itu digubah, ditulis oleh Yahudi untuk mengenang kaum yahudi yang tewas dalam peristiwa Holocaust, pemilik blog menuliskan dia tidak akan pernah mendengar lagu tersebut.

“Setelah mengetahui fakta ini, Alhamdulillah saya memutuskan untuk tidak mendengarkan lagu ini. Lagu yang memiliki sejarah Yahudi, mulai dari penulis liriknya, pengaransemen musiknya, konten liriknya serta judul lagunya yang merupakan sebutan Yahudi untuk menyebut tuhannya (yang kita tidak tahu tuhan seperti apa yang dimaksud Yahudi ini), saya pikir lebih baik dijauhi oleh para muslimin dan muslimah. Saya khawatir lagu ini akan mengubah (sedikit atau banyak) pola pikir bawah sadar anda. Karena menurut buku yang saya baca, musik atau lagu merupakan salah satu sarana propaganda Yahudi untuk menyebarluaskan ide-ide ke-Yahudi-an mereka. Saya tidak tahu apakah teman-teman akan memutuskan untuk tidak mendengarkan lagu ini atau tidak setelah membaca tulisan ini. Semoga Allah memberi anda petunjuk .”

Wah.. sungguh, saya cuma bisa mengernyitkan dahi dan bertanya, sudah separah inikah kedengkian orang ini pada Yahudi? Ckckck… sepertinya penulis blog tersebut amat sangat berlebihan, dan sayangnya dia tidak sendiri. saya mengenal banyak orang sejenis dengan ini. 

Anyway saya bukan antek-antek zionis
Persetan dengan negara Israel (Negara Israel lho… Bukan Yahudi-nya)
Dan lebih persetan lagi dengan pemilik Blog Goblog itu….

Karena tak punya lagunya, saya akan download malam ini sepulang jam kerja, mau mendengarkan lagu ini sepanjang malam…
Lagu ini benar-benar lagu yang kuat, bermakna. :cool

Donna Donna 

On a waggon bound for market
there’s a calf with a mournful eye.
High above him there’s a swallow,
winging swiftly through the sky.


Reff:
How the winds are laughing,
they laugh with all their might.
Laugh and laugh the whole day through,
and half the summers night.


Donna, Donna, Donna, Donna;
Donna, Donna, Donna, Don.
Donna, Donna, Donna, Donna;
Donna, Donna, Donna, Don.


Stop complaining! said the farmer,
Who told you a calf  to be?
Why don’t you have wings to fly with,
like the swallow so proud and free?


Calves are easily bound and slaughtered,
never knowing the reason why.
But whoever treasures freedom,
like the swallow has learned to fly.

Rabu, 04 Mei 2011

Ciremai (3078 mdpl - 3027 mdpl = 51 m)


Ciremai adalah gunung pertamaku, tiga tahun lalu sekitar bulan Februari 2008 saya mendaki Ciremai bersama rombongan siswa Diklat STAPALA lainnya. Perjalanan yang mengesankan dan membuat saya rindu untuk kembali menjajal gunung tertinggi di jawa Barat ini. Berawal dari chating sana-sini, akhirnya terkumpulah 6 orang (saya, gawon, pasid, john smith, brama dan ralex). Semua anggota team adalah anggota STAPALA kecuali ralex, dia ini teman satu kantor yang rupanya hoby naik-turun gunung dan mengaku kenal dengan kadal-udik. Tetapi karena suatu hal, ralex akhirnya batal ikut dalam perjalanan ini pada H-2.
Wah… Padahal saya sudah berharap ralex bisa jadi tulang punggung penyokong dana dalam perjalanan kali ini, apa boleh buat. Karena saya sudah terlanjur menyiapkan satu set peralatan pendakian untuk ralex (carrier-raincoat jupret dan matras posko), saya pun mencoba mencari pendaki pengganti. Saya berpikir siapa kira-kira orang yang mau diajak naik gunung pada H-1 (eh bukan, H-1/2 dink). Akhirnya saya mendapatkan pendaki pengganti : Ikhlas Wau. Ikhlas ini adalah sobat konyol yang pernah menemani saya mendaki Merbabu-Merapi (ingat tulisan saya di diary? Dia termasuk rombongan yang memutuskan menyerah dan tidak jadi mendaki merapi setelah insiden di Merbabu).* dengan catatan buruk tersebut, memang rasanya agak males mengajak lagi orang yang pernah meninggalkan kita di gunung. Tapi si ikhlas ini punya dua hal positif, pertama dia punya selera humor di atas rata-rata, saya butuh banyolan konyolnya untuk menghibur perjalanan dan kedua dia penempatan BPK alias sudah bergaji. Haha….

*Awal April lalu, ikhlas bareng Tutur(Kelud) berdua mendaki sumbing, dan lagi-lagi gagal muncak, karena…badai.

Kamis, 21 April 2011 @17.00
Kami sepakat ketemuan di Kampung Rambutan, awalnya tidak semua sepakat, gawon sempat merencanakan untuk berangkat langsung dari bintaro ke kuningan.
set, dari bintaro ada bus yang langsung ke pertigaan linggarjati, kita berangkatnya pisah aja ya, ntar ketemuan disana
Wah, saya pikir, ribet nanti kalau sempat pisah di sana, saya balas sms :
kita ketemuan di Kampung Rambutan atau di Puncak Ciremai sekalian, silahkan kau pilih !!
Setelah membaca sms persuasif dari saya, akhirnya gawon bisa mengerti dan kami pun sepakat untuk bertemu di kampung rambutan.

Kamis, 21 April 2011 @22.00
Jangan merencanakan sesuatu yang mustahil
masbro pasid, brama kita ketemu di terminal senen pukul 19.30
masbro john smith, gawon, ikhlas kita ketemu di kampung rambutan jam 20.00
Dan yang terjadi kemudian adalah anggota team lengkap enam orang bertemu di kampung rambutan pukul 23.00….

Gawon adalah yang pertama sampai di Kampung Rambutan. Ketika saya sampai, entah bagaimana ceritanya, Gawon sedang bersama rombongan Ebas dkk. Ebas adalah mantan siswa diklat STAPALA 2011. Jumlah mereka sekitar 20-an anak, rombongan gado-gado, salah satu dari mereka bahkan berasal dari Manado. Rupanya mereka juga ingin mendaki, kebetulan sekali…
Kami benar-benar terbantu karena ternyata Ebas dkk sudah nego dengan supir Bus, karena jumlah kami cukup banyak (26 pendaki), supir Bus Setia Negara setuju untuk mengantarkan kami sampai ke Basecamp Linggarjati  dengan ongkos Rp 40 ribu. Jadi kami tidak perlu berjalan kaki dari pertigaan sebelum memasuki Desa Linggarjati. Pukul 24.00, bus melaju meninggalkan Jakarta, perjalanan panjangpun dimulai. Perjalanan yang benar-benar panjang, seingat saya tiga tahun yang lalu, hanya butuh 5 jam untuk sampai ke kaki gunung Ciremai, tapi karena kemacetan Jalur Pantura, perjalanan kali ini butuh waktu 8 jam !!
  
Jumat, 22 April 2011 @08.00
Bus masuk ke daerah Kuningan, kami istirahat sejenak untuk sarapan Kupat Tahu di warung lokasi pemberhentian istirahat Bus dan membeli persediaan air mineral. Perjalanan dilanjutkan dan sekitar 1 jam kemudian kami tiba di Pertigaan Desa Linggarjati. Namun sampai disana ternyata Jalur pendakian via Linggarjati masih ditutup, kami lalu memutar menuju jalur pendakian Linggasana yang letaknya tidak terlalu jauh.


Jumat, 22 April 2011 @10.00
Kami semua tiba di Pos Linggasana dan menyerahkan fotokopi KTP/Identitas diri untuk SIMAKSI, ternyata Pasid lupa membawa KTP, suatu keajaiban ternyata di dompet saya ada fotokopi KTP peserta Pendakian Umum STAPALA tahun lalu. Jadilah pasid mendaftar SIMAKSI sebagai “Andre Tampubolon” (identitas di fotokopi KTP), bahkan karena terdapat cukup banyak fotokopi KTP di dompet saya, ebas kemudian meminta tiga lagi untuk temannya yang rupa-rupanya juga lupa membawa KTP. Weleh-weleh....
Pendakian pagi itu dimulai pukul 10.15, kami adalah rombongan pertama yang berangkat. Dari Pos I ini, pendakian dimulai dengan melintasi perumahan penduduk dan peternakan ayam dikiri kanan jalan. Tak lama kemudian kami memasuki kawasan perkemahan Cigenteng.
 
Jumat, 22 April 2011 @12.00
Kami mulai masuk ke kawasan hutan, medan yang kami hadapi terus menanjak, gunung ciremai memang memiliki tingkat kesulitan cukup tinggi, kecuraman rata-rata jalur Linggarjati/Linggasana mencapai 70 derajat, hal inilah yang membuat jalur ini menantang sekaligus menyiksa pendaki. Tidak lama kemudian kami memasuki belukar rerumputan, jalur yang kami lewati tampak tertutup rumput setinggi pinggang, maklum linggasana adalah jalur yang baru dibuka awal tahun lalu. Di beberapa lokasi yang agak terbuka kami bisa melihat garis pantai utara Jawa.
Sekitar pukul 13.30, kami sampai di Pos Condang Amis (1350 mdpl). Di titik ini, jalur Linggasana bertemu dengan jalur Linggarjati. Sebelum Condang Amis terdapat sumber mata air yang berjarak 5 menit dari shelter, tapi untuk sampai ke sumber mata air ini harus hati-hati karena medannya sangat curam dan licin. Dahulu sebelum jalur Linggasana belum dibuka, tidak banyak yang tahu ada sumber mata air disini. Mungkin karena jalur Linggarjati tidak melewati daerah tersebut, padahal jarak sumber mata air dan pos Condang Amis tidaklah terlalu jauh. Dan ini merupakan suatu keuntungan, karena jika pendaki melewati jalur Linggarjati, sumber air terakhir ada di pos Cibunar yang berada di ketinggian 750 mdpl, bandingkan dengan Condang Amis yang berada di ketinggian 1.350 mdpl.

Jumat, 22 April 2011 @16.00
Kami telah melewati tanjakan Seruni dan sekitar pukul 16.20 kami sampai di tanjakan tanjakan Binbin. Perjalanan yang kami lalui sangat menguras tenaga, medan yang menanjak dan tanah licin menyulitkan pendakian, seringpula kami mesti melalui jalur dengan menarik akar pepohonan. Anggota team berjalan stabil walau agak lambat. Sekali-kali kami berhenti untuk beristirahat, menarik napas. Sambil beristirahat, saya perhatikan sekeliling, aneh, sampai sejauh ini, saya tidak menemukan “Jus ciremai” yang tiga tahun lalu cukup banyak saya temui. “Jus ciremai” yang saya maksud adalah air seni yang ditampung pendaki, biasanya di botol minuman mineral. Ada alasan klenik untuk perbuatan nyeleneh ini, konon katanya ada larangan untuk buang air kecil di gunung Ciremai, air seni pendaki pamali menyentuh tanah Ciremai. Karena itu para pendaki buang air kecil di botol, lalu menggantung “Jus ciremai” itu di dahan pohon. What a freak!!

Jumat, 22 April 2011 @ 19.00
Kami sepakat untuk menghentikan pendakian pukul 19.00 dan nge-camp di shelter terdekat. Dan ketika hari beranjak malam, kami telah tiba di pos Bapa Tere. Kami memutuskan untuk nge-camp disini, ternyata rombongan ebas juga memasang tenda di pos yang sama.

Jumat, 22 April 2011 @20.00
Kami membawa dua tenda, masing-masing ada di carier saya dan gawon. Beberapa dari kami mendirikan tenda dan menyusun carrier. Saya dan Ikhlas memasang kompor dan memasak makan malam. Krisis air membuat menu yang membutuhkan air banyak seperti sayuran menjadi sesuatu yang dihindari. Dalam perjalanan kali ini pun kami tidak membawa bekal sayuran.
Di samping tenda kami ada tenda pendaki lain, dia lupa membawa frame dan menggantung bagian ata tendanya ke dahan pohon, lumayan berhasil, tenda bisa berdiri meski angin kecil tampaknya bisa merubuhkannya kapan saja. Rombongan team dan rombongan Ebas sudah menawarkannya untuk tidur di tenda kami saja, mereka menolak dengan sopan.
Setelah makan dan bermain truff (mainnya ga niat, cuma 2 menit doank), kami memutuskan untuk tidur, tanpa kesepakatan akan bangun dan mulai mendaki jam berapa esok pagi. Padahal saat itu baru pukul 20.00. 

Sabtu, 23 April 2011 @03.00
Waktu masih menunjukkan pukul 03.00 pagi. Karena malam sebelumnya kami tidur lebih awal, kepala saya rasanya segar meski di luar masih gelap. Saya tanya gawon apa dia pengen lanjut pendakian subuh atau nunggu sampai matahari terbit. Dia bilang ok, yang lainnya mengikuti. Akhirnya kami putuskan untuk mendaki dengan meninggalkan tenda. Kami hanya membawa satu carrier berisi makanan dan 3 liter air. Saya sadar sebenarnya tidak mungkin mengejar sunrise di puncak. Jarak pos bapa tere ke puncak masih teramat jauh, ketinggian pos Bapa Tere sendiri baru sekitar 2200 mdpl. Dan waktu yang kami miliki hanya 3 jam sebelum matahari pagi terbit.

Sabtu, 23 April 2011 @04.00
Perlahan kami naik beriringan, headlamp saya kehabisan batere, apa boleh buat. Saya mengandalkan senter dari rekan yang lain. Belum berapa lama, tiba-tiba Ikhlas mengaku mual. Setelah minum air dan beristirahat sejenak, perjalanan dilanjutkan. Hanya berselang beberapa menit, kembali dia drop dan meminta izin untuk kembali ke tenda. Ah... ini orang sudah berapa kali gagal muncak, koq masih secepat itu menyerahnya, pengalaman merapi-sumbing sepertinya ga membekas di kepala anak ini. Saya tau dia masih ragu-ragu antara lanjut naik atau turun ke tenda. Alih-alih memberi semangat saya malah berteriak dari atas.
kalau mau turun, turun saja, kau tau khan jalannya??
Tak ada jawaban dari bawah.
Dan terbukti motivasi pendekatan negatif ini berhasil, dia ikut melanjutkan pendakian.
Sekitar pukul 05.00 pagi kami beristirahat di beberapa shelter dan melihat semburat kuning dari ufuk timur. Matahari sudah mulai terbit, sunrise yang indah meski bukan di puncak gunung. Toh... sunrise di puncak menurut saya bukanlah syarat mutlak suatu pendakian yang ideal.

Sabtu, 23 April 2011 @05.30
Perlahan akhirnya kami sudah hampir sampai di alun-alun Pengasinan, pos terakhir. Disinilah tiga tahun lalu saya memasang tenda di tengah badai. Kami mengambil beberapa foto, di pos ini terdapat beberapa tanaman edelweis meski tidak sebanyak di Suryakencana atau Mandalawangi. Setelah beristirahat kami melanjutkan perjalanan ke Puncak yang berjarak sekitar 1 jam pendakian. Dan akhirnya setelah beberapa jam pendakian yang menyiksa lutut, betis dan punggung.
Puncak !!!


Sabtu, 23 April 2011 @07.00
 Saya merupakan salah satu yang terakhir mencapai puncak. Pemandangan yang luar biasa, matahari cerah. Kami bisa melihat kawah mati Ciremai, kedalamannya mungkin sekitar 300-400 m dari bibir kawah. Berwarna dominan putih bercampur cokelat muda. Di sekitaran kawah terdapat semak belukar yang menjorok ke dalam kawah. Diameter kawah cukup besar, lumayan memakan waktu jika harus mengelilinginya. Puncak Ciremai adalah tipikal puncak gunung yang saya suka. Dari atas sini, kami bisa melihat gunung Salak, gunung yang memiliki puncak hanya berupa hutan pepohonan, kata beberapa teman yang pernah mendaki ke sana. Saya tidak pernah punya minat mendaki gunung seperti Salak.
Ada papan di dekat kami beristirahat, tertulis “Puncak Panglongokan 3027 mdpl. Ini bukanlah titik tertinggi di Ciremai, kami harus menyusuri kawah untuk bisa mencapai titik tertinggi (3078 mdpl). Namun niat untuk mengelilingi kawah terpaksa kami urungkan karena air yang kami bawa amat minim. Cukuplah itu, perbedaan 51 meter tidak akan mengubah apapun. Hehe...


Sabtu, 23 April 2011 @08.00
Setelah puas menikmati pemandangan dan mengambil beberapa foto, kami pun segera turun. Perjalanan turun kali ini terasa berbeda dengan tiga tahun lalu. Turun via linggarjati/linggasana saya tidak bisa berlari karena jalur terlampau curam, kita harus melangkah turun perlahan dan berhati-hati. Di jalur ini juga cukup banyaknya pohon tumbang yang mengingatkan saya dengan jalur pendakian Pangrango. Hal ini berbeda jika kita turun via palutungan, jalur yang lebih landai dan kadang datar sehingga pendaki bisa turun dengan berlari-lari kecil. 
Air 3 liter bekal kami buat naik dan turun dari Bapa Tere – Puncak ternyata tidak cukup. Kami start turun dari puncak dengan bekal aqua botol yang tersisa separuh. Perjalanan turun dengan kerongkongan kering, kami turun dengan cepat, masing-masing seperti berlomba untuk sampai di tenda, untuk minum. Satu pelajaran penting hari itu : Bawa air sebanyak yang bisa dibawa.
Sabtu, 23 April 2011 @10.00
Saya yang lebih dulu tiba di Bapa Tere, berlari ke tenda, minum.... tak jauh dari tenda tampak dua pendaki asal depok sedang beristirahat, mereka rupanya sedang menunggu temannya dari puncak.  tidak lama kemudian hujan turun, satu per satu angota team sampai di tenda, pendaki depok tadi awalnya kami undang untuk masuk di tenda, tapi mereka lebih memilih untuk memasang flysheet untuk berteduh. Hujan yang makin deras membuat air pelan-pelan merembes kedalam tenda. Beberapa dari kami sibuk mengurus carrier masing-masing seperti hendak bekemas turun. Saya katakan ke Pasid, “Sid, kau jangan packing dulu, tenda ini kau yang bawa turun, gantian.” Tapi ternyata jawaban balasan darinya sangat tidak enak didengar, tanpa tedeng eling-eling, dia menolak dengan alasan kakinya sakit (??), memangnya siapa yang kakinya tidak sakit di perjalanan ini? saat itu hujan sedang deras-derasnya. Mendengar jawabannya itu, rasanya benar-benar dongkol, saya keluar dari tenda
Begitu keluar dari tenda, saya baru sadar kalau diluar ada rombongan anak Arkadia yang sedang berteduh di flysheet pendaki depok tadi, berteduh dari hujan. huh.... daripada ada di tenda bareng manusia cule mendingan keluar saja. Karena baju kering cuma tersisa satu, yaitu yang menempel di badan, saya amankan baju itu. Yah... telanjang dada di tengah hujan deras dingin di gunung, toh raincoat saya juga sudah basah total. Sayapun berteduh di flysheet bareng anak Arkadia, obrolan panjang yang berakhir dengan transasksi gas ditukar dengan rokok. Kebetulan gas yang kami bawa berlebih banyak.
Hujan beranjak reda sesaat, gawon keluar tenda, karena air yang tersisa tinggal tiga botol aqua (4 L), tidak ada cukup air untuk masak sehingga kami berencana untuk makan siang di condang amis saja. Kami benar-benar kelompok dungu, karena tidak ada yang punya inisiatif untuk menampung air hujan tadi. Tapi alam ciremai nampaknya sedang menunjukkan kemurahannya, tak lama berselang hujan kembali turun, kali ini lebih deras lagi. Gawon segera mengumpulkan botol aqua kosong dan mengambil air yang tertampung di atas flysheet milik pendaki depok tadi. Air berlimpah, kami bisa masak, kami bisa makan siang disini.
Hujan masih sangat deras ketika kami masak, moment ini adalah saat paling menyenangkan dalam perjalanan ini. Kami keluar tenda, beberapa membuka baju, bernyanyi, berteriak, tertawa keras di tengah hujan yang sangat lebat. Membuat iri para pendaki yang naik dan turun dengan raincoat tebal mereka. Moment ini layak dikenang jika saja ada kebersamaan yang utuh, maksud saya, tidak ada yang tetap di tenda, menunggu yang lain memasakkan sesuatu buat perutnya, aslilah, di perjalanan ini lw bener-bener kayak TAI sid !!! malas gw satu perjalanan dengan lw lagi !!

Sabtu, 23 April 2011 @11.30
Hujan sudah mulai mereda, Tenda tanpa frame milik tetangga benar-benar hancur, didirikan persis di jalur air. Yang empunya tidak kelihatan, mungkin masih di atas. Kami pun melipat tenda naas itu, mengamankan barang-barangnya dalam trash bag. Setelah itu kamipun mempersiapkan diri untuk turun. Packing dan melipat tenda, kembali saya dan gawon yang membawa tenda. Bergegas turun..

Sabtu, 23 April 2011 @13.00
Perjalanan turun kami cukup lancar, tidak ada hujan lagi. Pada dasarnya jalur di Ciremai cukup jelas. Meski begitu terdapat beberapa cabang jalan yang membingungkan, beruntungi kami dituntun oleh tanda medan seperti tali berwarna yang diikatkan pada dahan pohon sebagai penunjuk jalan. Melintasi Pangalap, Kuburan Kuda, Condang Amis, keluar kawasan hutan, memasuki kawasan Pohon Pinus dengan jalur rumput setinggi pinggang dan akhirnya masuk ke wilayah ladang penduduk.

Sabtu, 23 April 2011 @18.00
Ketika kami tiba di daerah ladang penduduk, hari sudah mulai gelap. Dibawah ternyata  Ebaz dan dua temannya sudah berada di warung penduduk. Rupanya dari sekitar 20-an pendaki yang kemarin medaki, hanya kami yang turun malam ini. Sisanya sepertinya memilih untuk nge-camp satu malam lagi di atas. Dua teman ebas adalah mahasiswa STAN juga, kami sepakat untuk bareng pulang ke Jakarta, setelah beristirahat sejenak.

Sabtu, 23 April 2011 @19.00
Kami turun ke bawah menuju pertigaan Linggarjati lalu terus hingga keluar pertigaan Cilimus. Berjalan kaki. Dari situ kami menumpang Bis 3/4. Ongkosnya 5 ribu untuk sampai ke Terminal Cirebon, atau 10 ribu jika mau langsung ke stasiun. Kami memilih untuk turun saja di terminal dan menunggu Bus yang ke Jakarta dan turun di Lebak Bulus. Setelah perjalanan kurang lebih setengah jam kami sudah tiba di putaran Terminal Cirebon dan mulai menunggu Bus. Kami menunggu hampir 1,5 jam kemudian sampai Bus Luragung melintas, harga tiketnya Rp 35 ribu sampai ke Terminal Lebak Bulus. Pulang....

Minggu, 24 April 2011 @03.00
Kami tiba di Terminal Lebak Bulus Jakarta Selatan dan menumpang angkot 08 yang menghantarkan kami sampai ke Kampus STAN, sementara Ikhlas sudah lebih dulu meninggalkan kami dengan  menumpang Bajaj dari Lebak Bulus.

Sampai juga di rumah, dengan kepala segar dan betis ngilu...

Quote perjalanan ciremai,”KALAU GA BODOH, MAHO....” tanya Gawon kalau mau tau artinya, hahaha....
Perjalanan ini yah... not bad lah cuy.... J

Kamis, 03 Februari 2011

Lumban Raja

Apa yang menjadi khas dari orang Batak? Supir metromini? Saksang? Pengacara korup? Preman Blok M? Gayus Tambunan? Hehehe… kalau ditanya ke orang Batak sendiri, mungkin mereka bakal bilang kalau sistem marga atau "tarombo" adalah hal yang paling khas dari suku Batak.

Sistem kekeluargaan di suku Batak memang cukup kompleks, meliputi tidak kurang dari 352 marga yang dapat ditelusuri hubungannya satu sama lain.
Pernah melihat ketika dua orang batak yang belum saling kenal bertemu? biasanya hal yang pertama ditanyakan adalah marga. Dengan mengetahui marga masing-masing, keduanya dapat menentukan hubungan kekeluargaan dan sapaan kekerabatan yang harus digunakan dalam berbicara.
Bagi beberapa orang hal ini penting, karena kesalahan dalam penggunaan kata sapaan dapat mengakibatkan ketersinggungan dan komunikasi yang tidak baik kepada lawan bicara. Misalkan nih ada kenalan baru yang harusnya kita panggil “Tulang” tapi malah kita sapa “Bapatua”, kalau orang itu paham adat dan kolot, bisa mencak-mencak tuh orang.
Nah… ini bisa cukup merepotkan mengingat ada sekita 125 bentuk sapaan kekerabatan dalam masyarakat Batak, bayangkan…. 125!! cuk!! repotnya…

Untuk bisa paham "tarombo", orang Batak mesti paham posisi marganya dalam sistem marga Batak, Kadang bahkan kita mesti tahu urutan keberapakah kita dalam sistem keturunan marga. Misalkan saya ini marga Lumban raja, keturunan keberapakah saya dari moyang saya yang bernama Lumban Raja itu? lain waktu saya juga bisa menggunakan marga Nainggolan (lho koq bisa? nanti saya jelaskan...)

Seharian ini saya mencari info tentang marga saya mumpung hari ini liburan Imlek, saya coba searching dan cari-cari keturunan siapakah saya ini..
Hehehe....

Pada Mulanya..
Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi, keturunan Adam berserak dan salah satunya merantau ke Sumatera, dialah SI RAJA BATAK, nenek moyang suku Batak.
Konon SI RAJA BATAK mempunyai 2 orang putra:
1. GURU TATEA BULAN.
2. RAJA ISOMBAON.
Semua keturunan SI RAJA BATAK dapat dibagi atas 2 golongan besar
a. Golongan TATEA BULAN = Golongan Bulan = Golongan (Pemberi) Perempuan.
b. Golongan ISOMBAON = Golongan Matahari = Golongan Laki-laki. Disebut juga
Kedua golongan tersebut dilambangkan dalam bendera Batak (bendera SI SINGAMANGARAJA), dengan gambar matahari dan bulan. Jadi, gambar matahari dan bulan dalam bendera tersebut melambangkan seluruh keturunan SI RAJA BATAK.

GURU TATEA BULAN memiliki 5 orang putra yaitu SI RAJA BIAK-BIAK (pergi ke daerah Aceh), TUAN SARIBURAJA, LIMBONG MULANA, SAGALA RAJA dan MALAU RAJA.
SARIBURAJA putra kedua dari GURU TATEA BULAN. Dia dan adik kandungnya perempuan yang bernama SI BORU PAREME dilahirkan marporhas (anak kembar berlainan jenis).
Mula-mula SARIBURAJA kawin dengan NAI MARGIRING LAUT, yang melahirkan putra bernama RAJA IBORBORON (BORBOR). Tetapi kemudian SI BORU PAREME menggoda abangnya SARIBURAJA, sehingga antara mereka terjadi perkawinan incest. Setelah perbuatan melanggar adat itu diketahui oleh saudara-saudaranya, maka ketiga saudaranya sepakat untuk membunuh SARIBURAJA. Akibatnya SARIBURAJA mengembara ke hutan meninggalkan SI BORU PAREME yang sedang dalam keadaan hamil. Ketika SI BORU PAREME hendak bersalin, dia dibuang oleh saudara-saudaranya ke hutan belantara, Tetapi di hutan tersebut SARIBURAJA kebetulan bertemu dengan dia.
SI BORU PAREME kemudian melahirkan seorang putra yang diberi nama SI RAJA LONTUNG.
Karena selalu dikejar-kejar oleh saudara-saudaranya, SARIBURAJA akhirnya berkelana ke daeerah Angkola dan seterusnya ke Barus.

SI RAJA LONTUNG ini mempunyai 7 orang putra
1. Situmorang
2. Toga Sinaga
3. Ampar Hutala
4. NAINGGOLAN
5. Simatupang
6. Aritonang
7. Siregar
Apakah nama-nama diatas terdengar familiar? ya karena nama-nama diatas juga digunakan sebagai marga oleh keturunannya.
---------------------------------------------------
Di Generasi ke 6 dari pohon Radja Batak , NAINGGOLAN mempunyai dua keturunan:
1. Sibatu
2. Sihombar

Sibatu dengan keturunan:
Sibatuara, Parhusip, Siahaan, Ampapaga

Sihombar dengan keturunan:
Lumban Nahor, SIRADJATUNGKUP, Lumbansiantar
----------------------------------------------------
Lalu dimanakah posisi Lumbanraja ???
----------------------------------------------------
Lumbanraja rupa-rupanya adalah keturunan SIRADJATUNGKUP, SIRADJATUNGKUP memiliki cicit yang bernama MOGOT PINAUNGAN, nah... MOGOT PINAUNGAN ini mempunyai 2 anak yaitu TANDJABAU dan DATUPARULAS
----------------------------------------------------
DATUPARULAS inilah yang menjadi marga Lumbanraja, atau dalam kata lain keturunan DATU PARULAS lah yang mulai menggunakan marga Lumbanraja. Adapun Lumbanraja adalah panggilan kecil bagi DATU PARULAS yang konon adalah anak bungsu dan selalu dimanjakan orangtuanya sehingga disebut Lumbanraja.

Bapak saya pernah bilang saya adalah keturunan ke-15 Lumbanraja, Dengan demikian maka saya juga adalah keturunan ke-20 dari Nainggolan sekaligus keturunan ke-26 dari SI RAJA BATAK.
Nah.... itulah sebabnya saya bisa mengklaim penggunaan marga Nainggolan ataupun Lumbanraja, saya toh adalah keturunan kedua orang itu.

Begitulah sejarah tarombo dengan keluhuran dan kehinaan sejarahnya. Dengan sistem tarombo, masyarakat Batak bisa tetap menjaga darah persaudaraannya meski telah lama berpisah atau malah tidak kenal sama sekali. 

Jumat, 28 Januari 2011

Abwoon D'Bashmaya

Abwoon D'Bashmaya - "Doa Bapa Kami" dalam bahasa Aram



Bahasa Aram adalah bahasa yang digunakan masyarakat Palestina pada zaman Yesus. masyarakat Yahudi ketika itu menggunakan bahasa Aram di kehidupan sehari-hari dan menggunakan bahasa Ibrani hanya dalam ibadah, seperti hal-nya seperti kaum Muslim Indonesia saat ini yang yang hanya menggunakan bahasa Arab ketika beribadah atau mendaraskan doa.
Saat ini, bahasa Aram adalah salah satu bahasa yang terancam punah, hanya terdapat sedikit orang (di pedalaman Iraq dan Suriah) yang masih bisa bertutur kata dengan bahasa Aram.

meski Injil Perjanjian baru ditulis dalam bahasa Yunani, Yesus kemungkinan besar mengajarkan doa "Bapa Kami" dalam bahasa Aram (Matius 6:5-14)

Abwoon d'bwashmaya
("Bapa kami yang di surga")
Nethqadash shmakh
("Dikuduskanlah Nama-Mu")
Teytey malkuthakh
("Datanglah Kerajaan-Mu").
Nehwey tzevyanach aykanna d'bwashmaya aph b'arha
("Jadilah kehendak-MU di bumi seperti di surga")
Hawvlan lachma d'sunqanan yaomana
("Berikanlah kami hari ini makanan kami yang secukupnya")
Washboqlan khaubayn (wakhta¬hayn) aykanna daph khnan shbwoqan l'khayyabayn
("Dan ampunilah kesalahan kami seperti juga kami mengampuni orang yang bersalah kepada kami")
Wela tahlan l'nesyuna, ela patzan min bisha
("Dan janganlah bawa kami kedalam pencobaan, tapi lepaskanlah kami dari yang jahat")
Metol dilakhie malkutha wahayla wateshbukhta l'ahlam almin, ameyn
("Karena Engkaulah yang punya Kerajaan dan Kuasa dan Kemuliaan sampai selama-lamanya, Amin")

Doa Bapa Kami dalam Bahasa Aram seperti yang dinyanyikan dalam video diatas terdapat dalam versi Peshitta Bahasa Syria yang diterjemahkan dari Perjanjian Baru yang berbahasa Yunani.
Doa ini mungkin salah satu icon utama kekristenan. seorang pastor, pernah menulis: 'Bapa kami yang di surga', kalimat pertama dalam doa ini adalah inti dari kekristenan itu sendiri.

Tetapi kemudian dalam perkembangan selanjutnya ada orang-orang yang memperlakukan Doa ini seperti sebuah mantra, menempatkan seolah kata-kata doa itu sendiri memiliki kuasa tertentu. saya pernah mendengar ada tradisi katholik yang membaca "doa Bapa Kami" berulang-ulang sebagai ibadah. aneh sekali. Berdoa saya kira bukan hanya sekedar mengulangi kata-kata hapalan kepada Tuhan.
Mungkin anggapan yang benar adalah jika kita menempatkan doa ini sebagai panduan bagaimana seharusnya kita berdoa.

Oh, ya kembali ke video diatas, Doa Bapa Kami yang dinyanyikan dalam Bahasa Aram. Seperti salah satu comment yang saya kutip dari youtube
"Just to know that this is the language our Lord Jesus Christ spoke when He walked the earth makes this song even more powerful!"
yeah saya setuju sekali

Rabu, 21 Juli 2010

Wisata Baduy 2010 (3-4 Juli 2010)

Saya : “Jadi kenapa orang Baduy tidak boleh naik kendaraan?”
Jali : “ya, karena adat larang (melarang) kang”
Saya : “kalau melihara kambing dilarang, alasannya apa kang?’
Jali : “Itu sudah aturan adat.”
Saya : “ehmm.. itu kepercayaan Sunda wiwitan, saya dengar mengenal Nabi Adam. Kepercayaan Orang Baduy itu seperti apa kang?”
Jali : “kalau itu mah, yang paham tetua adat kita kang, saya kurang mengerti.”

Waduh, lugu sekali pemikiran masyarakat Baduy ini. Tidak menanyakan kenapa? Atau untuk apa? Sedikit kesal saya sebenarnya. Apa memang Jali, orang Baduy yang menjadi guide kami, dasar tidak tau apa-apa ataukah semua masyarakat Baduy memang orang-orang yang teramat polos untuk sedikit memberontak dan bertanya “kenapa?”

Perjalanan kami, gabungan beberapa anggota STAPALA dan mahasiswa STAN ke Cibeo, salah satu dari tiga desa Baduy dalam. Perjalanan melelahkan dari Pondok Ranji dengan kereta ekonomi ke Rangkas Bitung selama 3 jam lalu dilanjutkan perjalanan menembus hutan selama 5 jam. Kami menginap di dua rumah masyarakat Baduy Dalam, yang dengan uniknya dibangun dengan kayu dan dibangun tanpa logam (paku). Kalau kata aneh terdengar kurang sopan baiklah kita sebut mereka berbeda. Dan memang mereka berbeda dari kita. Sebuah komunitas yang menolak modernitas, begitulah masyarakat luar seperti saya menilai. Hanya masalah diksi sebenarnya. Menolak modernitas atau menolak dijangkiti rakusnya dunia luar.

Hal yang sangat saya hargai dari masyarakat Baduy adalah kejujuran dan kesederhanaan.
Betapa saya sangat tertegun melihat jejeran lumbung padi yang berukuran 1,5m X 1,5 m dibangun cukup jauh dari pemukiman dan tidak diberi pengaman atau gembok sama sekali. Tidak adakah pencuri disini? Weleh…

“ya sekadarnya sajalah”
Begitu terucap dari Jaro (kepala desa Baduy luar) ketika saya bertanya tarif masuk, ongkos menginap dan guide yang akan kami gunakan selama perjalanan. Dan mereka memang tidak mematok harga. Berapapun yang diberi pengunjung. Mereka akan terima.

Mereka menyambut kami dengan senyum tulus, dan sungguh ini bukan hiperbola, karena saya tau seperti apa senyum yang tulus. Di salah satu rumah, kami disuguhi pisang dan semacam umbi berikut gula aren. Mereka orang-orang yang hangat.

Tidak ada listrik disini, tentu saja, pukul 8 malam sudah tidak ada yang menarik di desa ini, hanya ada bunyi serangga, riak air sungai di sebelah desa dan sinar lampu minyak sayur. Saya bosan, sungguh saya tidak habis pikir bagaimana rasanya menghabiskan hidup dengan melewati ribuan malam membosankan seperti ini. tanpa internet, tanpa tayangan bola, tanpa televisi, tanpa hal-hal yang kita anggap biasa.
Tapi mereka bisa tersenyum dengan kehidupan macam itu. Jadi siapa sebenarnya yang harus iri hati?

Orang-orang yang bisa bahagia dari hal-hal sederhana adalah orang yang paling kaya. Dan merekalah orang-orang itu.

Hehehe…Saat ini saya tidak punya sepatu (dibuang Edhel-825 dari posko), handphone saya juga nyaris hancur sempurna. Tapi mengingat perjalanan ini, saya malu untuk mengeluh.

Gunung Sumbing (25-27 Juni 2010)


Ditandatanganinya KTTA oleh dosen pembimbing walau di saat-saat injury time memantapkan niat saya untuk kembali mendaki gunung. Gunung Sumbing, tak begitu jelas darimana ide perjalanan ini muncul. Team dibentuk, terdiri dari rekan-rekan STAPALA Erik-840, John Smith-851, Tinton-882, Ossy-883, Pita-901 dan saya sendiri yang berangkat dari kampus STAN Juramangu hari Jumat petang, 25 Juni 2010. Adapun Iqbal-877 (satu-satunya non-mahasiswa di perjalanan ini) dan August-839, apache yang akan PKL di kampung halaman rencananya akan bergabung bersama kami di Magelang. Semua anggota team belum ada yang pernah mendaki ke Gunung Sumbing sebelumnya. Semangat menggebu, rasanya sudah tidak sabar lagi.

Gunung Sumbing terletak di Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, dengan ketinggian 3371 mdpl. Gunung ini selain menjadi bagian penting kota Wonosobo juga menjadi tujuan favorit bagi para pendaki karena tingginya lebih dari 3000 meter dan merupakan puncak kedua tertinggi di Jawa Tengah. Tepat di samping Gunung Sumbing terdapat Gunung Sindoro. Dua gunung ini adalah pasangan seperti halnya gunung Gde-Pangrango, Merapi-Merbabu ataupun Raung-Argopuro.

Berangkat dari Bintaro ke Stasiun Tanah abang lalu dilanjutkan perjalanan panjang ke Kutoarjo dengan kereta Bengawan. Ini merupakan perjalanan kereta api pertama bagi Pita, Karena di Pare-Pare, kota asalnya tak ada kereta, dia agak sedikit shock rupanya, tak ada tempat duduk bagi kami, terpaksalah pasang lapak di samping toilet. Duduk beralaskan carrier, kami berdua pun harus merasakan pinggul dan kaki para penjaja yang lalu lalang sepanjang malam. Sedangkan anggota team yang lain rupanya tak bernasib lebih baik. Mereka duduk sesak di pinggir pintu kereta. Hanya butuh sedikit pemantik saja untuk menimbulkan konflik di tempat seperti ini. Dan benar saja, pengalaman tidak enak rupanya dialami Ossy. Hanya karena pandangan mata yang dianggap menantang, seorang lelaki setengah baya bertengkar mulut dan mengeluarkan ancaman kepada sobat kami ini. Kurang tidur dan kelelahan rupanya membuat beberapa orang jadi gila.

Meski sudah cukup sering naik kereta api, tetap saja saya miris melihat kondisi transportasi murah yang satu ini. Dalam keadaan normal kebanyakan orang-orang masih malu duduk jika ada orangtua atau wanita yang berdiri di depannya. Tak begitu dengan kondisi di kereta ini. Solidaritas dan rasa segan hilang. Perjalanan kereta malam selalu menyiksa. Tanpa sedikitpun tertidur, kami sampai di Kutoarjo pukul 05.00 pagi. Mampir sebentar di masjid, sholat bagi yang sholat.

Di Kutoarjo, Iqbal bergabung dengan kami, perjalanan lanjut dengan bus ke Magelang. Ini pertama kalinya saya ke Magelang, reputasinya sebagai kota indah yang sering saya dengar tidak terbukti, tapi cuaca di kota ini cukup sejuk dan nyaman. Di Magelang tepatnya di Secang, anggota team bertambah oleh August dan Adi, adiknya yang kuliah di UGM. Dari Secang kami naik bus menuju Parakan, sedangkan August dan Adi naik motor. Dari Secang sesuai rencana kami akan naik angkutan lagi menuju Base Camp di Dusun Garung. Di perjalanan, kernet bus menawarkan diri mengantar kami langsung sampai Base Camp Gunung Sumbing di Dusun Garung. Tarif dipatok Rp 100.000,00 kami tawar Rp 60.000,00 mereka menolak. Ya sudah, tak ada kata deal disitu. Karena tak ada anggota team yang paham dimana lokasi Parakan ataupun Dusun Garung, kami hanya menunggu sampai diturunkan di trayek akhir, Parakan. Kami terkejut karena ternyata kami diantar langsung sampai Base Camp Gunung Sumbing di Dusun Garung dan kernet menagih ongkos Rp 100.000,00. Apa-apaan ini? Kami menolak mentah-mentah. Berdebat dengan supir dan kernet, kami ngotot tak mau membayar. Kami bertambah jengkel, ketika penjaga warung yang ikut nimbrung mengatakan ongkos normal dari Secang hanya Rp 7.000,00 berarti kalau kami ber-tujuh, ongkos normal hanya Rp 49.000,00.

“wis ngene wae, kowe rugi ,kowe yo rugi,, podo-podo rugine,,pitungpuluhlimo wae. “

Begitulah penjaga warung mencoba menengahi. Perang urat leher berakhir dengan nilai ongkos yang disepakati Rp. 70.000,00. Dalam hati, saya masih menyumpahi beberapa pihak di daerah wisata yang seringkali “ajimumpung”, baru dua hari sebelumnya saya juga mengalami hal serupa ketika berkunjung di desa Karekes, Kampung Badui, diperas oleh ongkos angkutan dan biaya rumah makan dengan harga yang tak masuk akal. Apa mereka kira hanya kalangan berduit saja yang berhak menikmati wisata.

Jam di handphone pukul 11.00 ketika kami sampai di basecamp Gunung Sumbing. Terletak di Dusun garung, Desa butuh, Kecamatan Kalikajar, Kabupaten Wonosobo, tempat ini cukup nyaman dan luas. Setelah mengurus perizinan pendakian dan membenahi carrier, team memulai pendakian.

Pendakian

Ada dua jalur pendakian yang bisa ditempuh, jalur lama dan jalur baru. Dari informasi yang kami dapat jalur baru dibuka karena jalur lama sudah terkena erosi dan sudah mulai tertutup semak ilalang. Meski begitu beberapa rekan STAPALA yang pernah mendaki malah menyarankan jalur lama. Team sepakat untuk naik dari jalur baru dan turun nanti lewat jalur lama.

Awal pendakian mulai pukul 11.30, dari Base Camp jalan lurus terus, melewati perkampungan, sesaat kemudian hamparan ladang tembakau menyapa kami. Di kiri kanan kami tembakau, tembakau, tembakau sekali-kali diselingi cemara. Menyinggung sedikit masalah tembakau, dalam perjalanan ini, anehnya, perokok adalah minoritas, hal yang cukup janggal untuk rombongan pendaki. Jalur yang kami lalui cukup menanjak dan berupa tanah merah tanpa bebatuan. “Apa jadinya pendakian ini kalau kondisi hujan? pasti licin sekali…” batin saya.
Dari sembilan anggota pendakian ini, Ossy adalah satu-satunya yang belum pernah mendaki gunung sebelumnya. Ini adalah gunung pertama baginya. Awal pendakian dengan semangat menggebu, dia mendahului rekan yang lain. Saya hanya tersenyum kecil ketika beberapa saat kemudian, seperti dugaan, sobat kami ini mulai kelelahan dan mulai sering meminta waktu beristirahat.

Beberapa saat mendaki melintasi ladang pertanian, kami mulai memasuki jalur bebatuan. Jalur bebatuan ini dikenal rawan longsor, dengan berhati-hati kami mendaki. Dari jauh terlihat Gunung Sindoro, cuaca cerah dan saya lihat nyaris separuh lereng gunung itu sudah berupa ladang pertanian. Pembabatan hutan untuk diubah jadi ladang memang terlihat ganas di Sindoro dan tampaknya hal serupa juga terjadi di Gunung Sumbing yang sedang kami daki. Butuh waktu yang cukup lama untuk mendaki melintasi ladang tembakau hingga akhirnya masuk daerah hutan. Ladang tembakau sudah lumayan menggerus lereng gunung. Aduhai tembakau, tanaman dan hasil olahanmu rupa-rupanya sama-sama merusak.
Sesaat kemudian kami berpapasan dengan beberapa pendaki yang turun. Sedikit mengobrol, mereka memberi informasi, pos satu sudah dekat dan ternyata sudah rubuh. Benar saja beberapa saat kami sampai di reruntuhan bangunan semi-permanen. Kami sampai di pos satu. Dahulu bangunan kecil ini bisa dipakai untuk bermalam atau sekadar berteduh. Satu hal yang menarik, sebelum pos satu ada sungai kecil atau lebih tepat disebut daerah aliran air, karena sungai ini hanya mengalir ketika kondisi hujan. Beberapa cerita tentang pendakian Sumbing, sungai ini cukup deras ketika musim penghujan dan pendaki harus berhati-hati melakukan penyeberangan basah. Sekilas saya lihat lokasi sungai kering dihadapan kami, cukup lebar meski tidak dalam. Wah untung saja tidak hujan.
Sepanjang pendakian kami susul menyusul dengan rombongan pendakian lain. Mereka nampaknya tak terburu-buru mendaki, karena jalannya begitu lambat dan seringkali istirahat. Meski anggota team, terutama Adi dan Pita tak bisa dikatakan cukup cepat dan stabil mendaki, kami akhirnya meninggalkan rombongan pendaki tersebut, mereka tak bisa menyusul lagi setelah team melewati pos dua.

Pos dua berupa bangunan kecil terbuka, dan disana telah didirikan dua tenda. Tampak beberapa pendaki memutuskan nge-camp di tempat tersebut. Kami lalu mendaki lagi, rute mulai sempit. Pemandangan di sebelah kanan kami perbukitan hijau terbuka mengingatkan saya dengan bukit hijau segar serupa di Pulau Samosir. Sesekali terdengar dari kejauhan “kukuruyukkkk…“ Wah, ternyata masih ada ayam hutan disini. Waktu sudah menunjukkan pukul 15.30.

Pendakian dilanjutkan, menjelang sore, Team pendaki dihadapkan dengan medan yang menanjak dan cukup curam. Banyak bebatuan yang sering longsor bila kita injak dan banyak lubang-lubang bekas aliran air. Jalur pun sangat berdebu. Team sempat berhenti lama untuk menikmati sunset tapi tak ada yang tampak karena posisi matahari ternyata tertutupi oleh Gunung Sumbing, kami tak bisa melihat Mentari terbenam dari posisi pendakian. Tapi jauh disana, tampak awan menggumpal seperti kasur, pemandangan yang menakjubkan, rasanya saya bisa melompat dan tidur di sana. Menurut peta, team seharusnya menemui pertigaan, Daerah Pestan, yang merupakan pertemuan jalur lama dan jalur baru. Tetapi malam turun, kondisi mulai gelap saya tidak sempat memastikan dimana pertigaan tersebut.

Gerhana

Pukul 19.00, malam semakin gelap. Tidak ada bulan, saya heran sekali karena malam sebelumnya kami sempat mengaggumi bulan yang purnama sempurna. Tapi bintang bertaburan, indah sekali. Kami menemukan lokasi tanah datar yang terbuka, angin kering dingin bertiup kencang. Bukan kondisi sempurna untuk mendirikan tenda, tapi kami tak punya banyak pilihan. Selain telah lelah, tempat datar sepertinya akan sulit ditemui jika perjalanan kami lanjutkan. Dua Tenda didirikan, berdampingan. Kompor gas dinyalakan, dan kami mulai sibuk memasak sambil berbincang seru. Memang benar adanya makanan apapun yang disajikan akan tetap terasa lezat di iklim dingin pegunungan. Selagi mendidihkan air untuk menyeduh kopi, tiba-tiba Iqbal nyeletuk “Hey! tadi bulannya sabit, koq sekarang jadi bulan separo?” Hah..?? benar saja, tapi tadi terakhir saya lihat malah tidak ada bulan sama sekali. Lama kami memandang bulan. “Lho, koq bulannya jadi purnama?” Tanya saya entah kepada siapa. Bulan diatas terlihat perlahan-lahan berubah tampak semakin penuh dan akhirnya bulat sempurna. Nantinya setelah turun dan sampai Jakarta, akhirnya kami tahu memang sedang terjadi gerhana bulan malam itu.
Malam terlalu indah dan perjalanan terlalu jauh hanya untuk dihabiskan meringkuk tidur di tenda, waktu menunjukkan pukul 20.30. jadi kami bercerita cukup lama di tenda, cerita tak berujung pangkal. Menertawakan kebodohan masing-masing selama perjalanan. Tentang Ossy yang terjatuh dalam tidur di Bus menuju Magelang, tentang saya yang begitu bodohnya mencuci wajah di pancuran air tolet gantung di mesjid stasiun atau juga tentang masa kecil Pita. Malam larut masih bercanda ria, ketawa-ketiwi, saling menghina kebodohan masing-masing, hahaha.. Senangnya rasa hati. Indahnya persahabatan ini. Malam bertambah larut, kami pun beristirahat. Tidur.

Summit Attack
Srrrrttttttttttt….
Bunyi resleting tenda itulah yang membuat saya terjaga. Terbangun dengan sedikit enggan, saya melihat keluar tenda, ternyata John sedang memasak mie instan. Pukul 03.00 pagi. Dia terbangun karena kondisi tenda lafuma kuning kami terlalu sesak dan membuatnya tak bisa tidur lagi. Hmmm... bisa dimaklumi, kami membawa dua tenda, tenda pertama disesaki oleh enam orang, padahal tenda lafuma itu kapasitas normalnya 4-5 orang. Jadilah kami berenam tidur dalam posisi miring. Tenda kedua hanya diisi tiga orang. Hal ini dilakukan demi kenyamanan Pita, anggota cewek satu-satunya di perjalanan ini.

Karena sudah terbangun, saya memutuskan untuk segera saja mendaki lebih awal agar dapat sunrise di puncak Sumbing. Setelah semua anggota team saya sadarkan dari tidur, ternyata dari sebilan anggota team, tiga orang memutuskan untuk tetap beristirahat di tenda. Jadi hanya enam dari kami yang bersiap untuk mendaki. Kami pun memulai pendakian subuh dengan doa terlebih dahulu. Dingin, berangin tapi begitu terang benderang oleh cahaya bulan. Saya malah enggan memboroskan batere senter karena jalur pendakian cukup jelas dibawah cahaya bulan.

Gunung Sumbing adalah penipu yang ulung, beberapa kali anggota team mengira pucak telah dekat karena terlihat rute pendakian menyempit dan seolah-olah puncak sudah di depan mata. Tapi ketika kami mendaki lebih tinggi, yang ada cuma dataran kecil lalu rute naik lagi, terlihat puncak masih jauh sekali. Benar-benar menyebalkan! Tetapi kalau dipikir lebih jauh, harusnya kami tidak tertipu karena beberapa pos seperti Watu-Kotak dan Tanah Putih belum lagi kami lewati, jadi kenapa berharap akan puncak? meski begitu tetap saja kami terus berharap puncak sesegera mungkin muncul. Jalur semakin menanjak dan seringkali ada tanjakan model 'dengkul ketemu muka' karena terjalnya.
Mendaki naik, kami berjalan di jalur sempit. Tampak ada tenda yang berdiri di jalur pendakian, sebelah kanan tenda tertutup batu, sedangkan tepi kiri ada jurang yang cukup curam. “Ah.. masang tenda koq di tengah jalan?” umpat saya dalam hati. Saya mengambil jalan dengan hati-hati di sebelah kiri, entah karena emosi saya yang sudah di ubun-ubun, kaki kiri saya terperosok ke lubang di sisi jurang, beruntung saya masih bisa menahan badan. Dengan sedikit menggerutu saya melempar botol aqua dan berusaha naik dibantu oleh yang lain. “Masang tenda koq di jalur sih?” teriak salah satu, entah siapa, dari kami. Dan keributan itu ternyata membangunkan si empunya tenda. “Sorry bro!!” terdengar suara dari dalam tenda, hmm… nada permintaan maaf yang terdengar kurang tulus. Anyway, perjalanan naik pun kami lanjutkan, dingin.

“Woi! Matahari! jangan muncul dulu!” saya lihat ke belakang, Ossy yang tadi berteriak. Pantas saja dia berteriak, rupa-rupanya cahaya kekuningan sudah mulai tampak di ufuk timur. Sun rise di puncak gunung nyaris semacam obsesi bagi beberapa pendaki. Teringat saya dengan ucapan salah seorang teman, tujuan mendaki gunung adalah pulang kembali dengan selamat, puncak hanyalah bonus. Sebenarnya saya tidak terlalu setuju dengan pendapat itu, tapi kalau dipikir mungkin ada benarnya. Saya lihat rute pendakian diatas, kembali menyempit, seolah-olah puncak sudah di depan kami. Apakah kali ini kami tertipu lagi? Pos terakhir telah terlewati, beberapa tanjakan yang kami kira puncak terhitung sudah tiga kali menipu kami. Saya mendaki di barisan belakang. Tampak di depan Iqbal sudah melewati tanjakan yang semoga saja merupakan tanjakan terakhir.
Semoga kali ini puncak… semoga kali ini puncak….Ayolah! Saya terus berharap. Rasanya sudah sedikit frustasi dengan track gunung ini.

Terdengar teriakan Iqbal dari atas, lalu teriakan yang lainnya menyusul..

“Puncak…..!!!!!!!!!”

Akhirnya…. jalur bebatuan ini selesai kami daki. Terima kasih TUHAN.

Pukul 05.45, kami sampai di Puncak Sumbing ketinggian 3371 mdpl, tampak Matahari keemasan terbit di Timur, Bulan yang menemani perjalanan subuh pun masih ada di arah Barat, tampak seakan mengalah kepada Sang Mentari. Sementara awan Cumulonimbus berbentuk kol tampak dibawah kaki kami. Pemandangan “Segoro Wedi” atau lautan pasir di kawah Gunung Sumbing. Indah sekali. Puncak Sindoro tampak gagah menjulang menyaingi Sumbing, saudara kembarnya. Jauh di arah Barat Laut Puncak Slamet menyapa. Oh, saya akan mendaki gunung itu suatu saat nanti, semoga.

Pukul 07.15, sambil menikmati pemandangan dan mengambil gambar, kami lalu mencoba sedikit menikmati roti dan istirahat. Selang beberapa saat Team Pendaki memutuskan untuk segera turun, rupanya tak tahan berlama-lama dihajar dinginnya hembusan angin yang meresap sampai tulang,

Perjalanan Turun

Perjalanan turun kami tanpa rintangan, ketika sampai di lokasi tenda penghalang jalan subuh tadi, beberapa pendaki sedang bersiap naik. Awalnya saya tak terlalu sudi menyapa, tapi entah bagaimana mereka tahu kamilah kelompok pendaki yang subuh tadi hampir celaka karena posisi tenda mereka. Ucapan maaf kembali terucap, kali ini dengan nada persahabatan yang jauh lebih tulus terdengar. Saya balas dengan senyum sumringah dan segera kembali berlari turun.

Hanya butuh waktu 1 jam untuk kembali ke lokasi tenda. Di tenda, anggota team yang tidak ikut mendaki August, Pita dan Adi sedang menyiapkan sarapan. Mereka rupanya tidak ingin melanjutkan perjalanan ke puncak. Ah, sayang sekali, mereka khawatir tidak bisa sampai Kampus tepat waktu, karena beberapa anggota team punya jadwal kuliah Senin pagi.
Setelah sarapan, kali ini menu istimewa : sphagethi dan roti bakar isi sarden, kami lalu mengemas tenda dan bersiap untuk turun. Seperti rencana, kali ini turun melewati jalur lama. Diputuskan untuk mengambil jalur arah kanan di suatu pertigaan yang kami yakini adalah pertigaan perjumpaan jalur lama - jalur baru.

Jalur yang kami lalui awalnya cukup jelas, masih terdapat cerukan pijakan kaki yang mantap. Tapi semakin lama, jalur yang kami lalui terlihat tertutupi oleh semak ilalang. Sampah pendaki yang secara ironi merupakan pertanda akan suatu jalur juga tidak tampak. Saya membatin apakah ini jalur yang benar. Semakin jauh kebawah, jalur semakin tidak jelas, beberapa dari anggota pendakian menyarankan agar kami kembali ke atas, ke jalur baru yang lebih pasti. Tinton meyakinkan bahwa dari informasi yang ia terima, jalur lama memang sudah tidak terawat dan tertutup semak. Kami pun terus berjalan. Beberapa lama berjalan, jalur mulai tampak kembali, lega hati kami begitu bertemu pendaki lainnya yang berpapasan dalam perjalanan mereka mendaki ke atas. Kami berada di jalur yang tepat.

Pukul 10.30, kami memasuki ladang tembakau, secara keseluruhan perjalanan turun cukup lancar, sedikit masalah karena jalur walaupun kering ternyata cukup licin, beberapa kali saya sempat terjatuh.

Pukul 11.30, seluruh anggota team telah sampai di Basecamp, setelah membersihkan diri dan menikmati makan siang nasi goreng buatan istri penjaga Basecamp, team segera packing dan perjalanan pulang dimulai. Kali ini tidak dengan kereta. Pertama kami menuju Purwokerto.
Pukul 05.00 Bus yang mengantarkan kami dari Purwokerto sampai di Terminal Lebak Bulus. Pukul 05.30 kami telah kembali ke Juramangu, pulang. Kuliah bagi yang kuliah, membersihkan tenda bagi tidak kuliah.

Ah….

Sungguh ini pejalanan yang menyenangkan. ..

Pejalanan Pergi
Stasiun Pondok Ranji – Stasiun Tanah Abang 4.000
StasiunTanah Abang – Stasiun Kutoarjo(Kereta Bengawan) 28.000
Kutoarjo – Secang, Magelang (Bus) 15.000
Secang – Dusun Garung (Rp 70.000/7) 10.000
Perjalanan Pulang
Dusun Garung – Terminal Purwokerto (Bus) 15.000
Terminal Purwokerto – Terminal Lebak Bulus (Bus) 40.000
Terminal Lebak Bulus – Bintaro (S-08) 3.000