Rabu, 21 Juli 2010

Wisata Baduy 2010 (3-4 Juli 2010)

Saya : “Jadi kenapa orang Baduy tidak boleh naik kendaraan?”
Jali : “ya, karena adat larang (melarang) kang”
Saya : “kalau melihara kambing dilarang, alasannya apa kang?’
Jali : “Itu sudah aturan adat.”
Saya : “ehmm.. itu kepercayaan Sunda wiwitan, saya dengar mengenal Nabi Adam. Kepercayaan Orang Baduy itu seperti apa kang?”
Jali : “kalau itu mah, yang paham tetua adat kita kang, saya kurang mengerti.”

Waduh, lugu sekali pemikiran masyarakat Baduy ini. Tidak menanyakan kenapa? Atau untuk apa? Sedikit kesal saya sebenarnya. Apa memang Jali, orang Baduy yang menjadi guide kami, dasar tidak tau apa-apa ataukah semua masyarakat Baduy memang orang-orang yang teramat polos untuk sedikit memberontak dan bertanya “kenapa?”

Perjalanan kami, gabungan beberapa anggota STAPALA dan mahasiswa STAN ke Cibeo, salah satu dari tiga desa Baduy dalam. Perjalanan melelahkan dari Pondok Ranji dengan kereta ekonomi ke Rangkas Bitung selama 3 jam lalu dilanjutkan perjalanan menembus hutan selama 5 jam. Kami menginap di dua rumah masyarakat Baduy Dalam, yang dengan uniknya dibangun dengan kayu dan dibangun tanpa logam (paku). Kalau kata aneh terdengar kurang sopan baiklah kita sebut mereka berbeda. Dan memang mereka berbeda dari kita. Sebuah komunitas yang menolak modernitas, begitulah masyarakat luar seperti saya menilai. Hanya masalah diksi sebenarnya. Menolak modernitas atau menolak dijangkiti rakusnya dunia luar.

Hal yang sangat saya hargai dari masyarakat Baduy adalah kejujuran dan kesederhanaan.
Betapa saya sangat tertegun melihat jejeran lumbung padi yang berukuran 1,5m X 1,5 m dibangun cukup jauh dari pemukiman dan tidak diberi pengaman atau gembok sama sekali. Tidak adakah pencuri disini? Weleh…

“ya sekadarnya sajalah”
Begitu terucap dari Jaro (kepala desa Baduy luar) ketika saya bertanya tarif masuk, ongkos menginap dan guide yang akan kami gunakan selama perjalanan. Dan mereka memang tidak mematok harga. Berapapun yang diberi pengunjung. Mereka akan terima.

Mereka menyambut kami dengan senyum tulus, dan sungguh ini bukan hiperbola, karena saya tau seperti apa senyum yang tulus. Di salah satu rumah, kami disuguhi pisang dan semacam umbi berikut gula aren. Mereka orang-orang yang hangat.

Tidak ada listrik disini, tentu saja, pukul 8 malam sudah tidak ada yang menarik di desa ini, hanya ada bunyi serangga, riak air sungai di sebelah desa dan sinar lampu minyak sayur. Saya bosan, sungguh saya tidak habis pikir bagaimana rasanya menghabiskan hidup dengan melewati ribuan malam membosankan seperti ini. tanpa internet, tanpa tayangan bola, tanpa televisi, tanpa hal-hal yang kita anggap biasa.
Tapi mereka bisa tersenyum dengan kehidupan macam itu. Jadi siapa sebenarnya yang harus iri hati?

Orang-orang yang bisa bahagia dari hal-hal sederhana adalah orang yang paling kaya. Dan merekalah orang-orang itu.

Hehehe…Saat ini saya tidak punya sepatu (dibuang Edhel-825 dari posko), handphone saya juga nyaris hancur sempurna. Tapi mengingat perjalanan ini, saya malu untuk mengeluh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar