Kamis, 05 Mei 2011

Donna Donna

Sore ini saya membuka-buka internet dan menemukan blog yang mengulas lagu “Dona-Dona”. Lagu yang menjadi salah satu soundtrack di film “Soe Hok Gie".


Diceritakan bahwa ternyata lagu ini berbau Yahudi, lagu ini menceritakan anak sapi yang digiring ke pembantaian, mencerminkan situasi orang-orang Yahudi pada masa Holocaust. Dan betapa sang pemilik blog awalnya menyukai lagu itu. Tetapi setelah tahu lagu itu digubah, ditulis oleh Yahudi untuk mengenang kaum yahudi yang tewas dalam peristiwa Holocaust, pemilik blog menuliskan dia tidak akan pernah mendengar lagu tersebut.

“Setelah mengetahui fakta ini, Alhamdulillah saya memutuskan untuk tidak mendengarkan lagu ini. Lagu yang memiliki sejarah Yahudi, mulai dari penulis liriknya, pengaransemen musiknya, konten liriknya serta judul lagunya yang merupakan sebutan Yahudi untuk menyebut tuhannya (yang kita tidak tahu tuhan seperti apa yang dimaksud Yahudi ini), saya pikir lebih baik dijauhi oleh para muslimin dan muslimah. Saya khawatir lagu ini akan mengubah (sedikit atau banyak) pola pikir bawah sadar anda. Karena menurut buku yang saya baca, musik atau lagu merupakan salah satu sarana propaganda Yahudi untuk menyebarluaskan ide-ide ke-Yahudi-an mereka. Saya tidak tahu apakah teman-teman akan memutuskan untuk tidak mendengarkan lagu ini atau tidak setelah membaca tulisan ini. Semoga Allah memberi anda petunjuk .”

Wah.. sungguh, saya cuma bisa mengernyitkan dahi dan bertanya, sudah separah inikah kedengkian orang ini pada Yahudi? Ckckck… sepertinya penulis blog tersebut amat sangat berlebihan, dan sayangnya dia tidak sendiri. saya mengenal banyak orang sejenis dengan ini. 

Anyway saya bukan antek-antek zionis
Persetan dengan negara Israel (Negara Israel lho… Bukan Yahudi-nya)
Dan lebih persetan lagi dengan pemilik Blog Goblog itu….

Karena tak punya lagunya, saya akan download malam ini sepulang jam kerja, mau mendengarkan lagu ini sepanjang malam…
Lagu ini benar-benar lagu yang kuat, bermakna. :cool

Donna Donna 

On a waggon bound for market
there’s a calf with a mournful eye.
High above him there’s a swallow,
winging swiftly through the sky.


Reff:
How the winds are laughing,
they laugh with all their might.
Laugh and laugh the whole day through,
and half the summers night.


Donna, Donna, Donna, Donna;
Donna, Donna, Donna, Don.
Donna, Donna, Donna, Donna;
Donna, Donna, Donna, Don.


Stop complaining! said the farmer,
Who told you a calf  to be?
Why don’t you have wings to fly with,
like the swallow so proud and free?


Calves are easily bound and slaughtered,
never knowing the reason why.
But whoever treasures freedom,
like the swallow has learned to fly.

Rabu, 04 Mei 2011

Ciremai (3078 mdpl - 3027 mdpl = 51 m)


Ciremai adalah gunung pertamaku, tiga tahun lalu sekitar bulan Februari 2008 saya mendaki Ciremai bersama rombongan siswa Diklat STAPALA lainnya. Perjalanan yang mengesankan dan membuat saya rindu untuk kembali menjajal gunung tertinggi di jawa Barat ini. Berawal dari chating sana-sini, akhirnya terkumpulah 6 orang (saya, gawon, pasid, john smith, brama dan ralex). Semua anggota team adalah anggota STAPALA kecuali ralex, dia ini teman satu kantor yang rupanya hoby naik-turun gunung dan mengaku kenal dengan kadal-udik. Tetapi karena suatu hal, ralex akhirnya batal ikut dalam perjalanan ini pada H-2.
Wah… Padahal saya sudah berharap ralex bisa jadi tulang punggung penyokong dana dalam perjalanan kali ini, apa boleh buat. Karena saya sudah terlanjur menyiapkan satu set peralatan pendakian untuk ralex (carrier-raincoat jupret dan matras posko), saya pun mencoba mencari pendaki pengganti. Saya berpikir siapa kira-kira orang yang mau diajak naik gunung pada H-1 (eh bukan, H-1/2 dink). Akhirnya saya mendapatkan pendaki pengganti : Ikhlas Wau. Ikhlas ini adalah sobat konyol yang pernah menemani saya mendaki Merbabu-Merapi (ingat tulisan saya di diary? Dia termasuk rombongan yang memutuskan menyerah dan tidak jadi mendaki merapi setelah insiden di Merbabu).* dengan catatan buruk tersebut, memang rasanya agak males mengajak lagi orang yang pernah meninggalkan kita di gunung. Tapi si ikhlas ini punya dua hal positif, pertama dia punya selera humor di atas rata-rata, saya butuh banyolan konyolnya untuk menghibur perjalanan dan kedua dia penempatan BPK alias sudah bergaji. Haha….

*Awal April lalu, ikhlas bareng Tutur(Kelud) berdua mendaki sumbing, dan lagi-lagi gagal muncak, karena…badai.

Kamis, 21 April 2011 @17.00
Kami sepakat ketemuan di Kampung Rambutan, awalnya tidak semua sepakat, gawon sempat merencanakan untuk berangkat langsung dari bintaro ke kuningan.
set, dari bintaro ada bus yang langsung ke pertigaan linggarjati, kita berangkatnya pisah aja ya, ntar ketemuan disana
Wah, saya pikir, ribet nanti kalau sempat pisah di sana, saya balas sms :
kita ketemuan di Kampung Rambutan atau di Puncak Ciremai sekalian, silahkan kau pilih !!
Setelah membaca sms persuasif dari saya, akhirnya gawon bisa mengerti dan kami pun sepakat untuk bertemu di kampung rambutan.

Kamis, 21 April 2011 @22.00
Jangan merencanakan sesuatu yang mustahil
masbro pasid, brama kita ketemu di terminal senen pukul 19.30
masbro john smith, gawon, ikhlas kita ketemu di kampung rambutan jam 20.00
Dan yang terjadi kemudian adalah anggota team lengkap enam orang bertemu di kampung rambutan pukul 23.00….

Gawon adalah yang pertama sampai di Kampung Rambutan. Ketika saya sampai, entah bagaimana ceritanya, Gawon sedang bersama rombongan Ebas dkk. Ebas adalah mantan siswa diklat STAPALA 2011. Jumlah mereka sekitar 20-an anak, rombongan gado-gado, salah satu dari mereka bahkan berasal dari Manado. Rupanya mereka juga ingin mendaki, kebetulan sekali…
Kami benar-benar terbantu karena ternyata Ebas dkk sudah nego dengan supir Bus, karena jumlah kami cukup banyak (26 pendaki), supir Bus Setia Negara setuju untuk mengantarkan kami sampai ke Basecamp Linggarjati  dengan ongkos Rp 40 ribu. Jadi kami tidak perlu berjalan kaki dari pertigaan sebelum memasuki Desa Linggarjati. Pukul 24.00, bus melaju meninggalkan Jakarta, perjalanan panjangpun dimulai. Perjalanan yang benar-benar panjang, seingat saya tiga tahun yang lalu, hanya butuh 5 jam untuk sampai ke kaki gunung Ciremai, tapi karena kemacetan Jalur Pantura, perjalanan kali ini butuh waktu 8 jam !!
  
Jumat, 22 April 2011 @08.00
Bus masuk ke daerah Kuningan, kami istirahat sejenak untuk sarapan Kupat Tahu di warung lokasi pemberhentian istirahat Bus dan membeli persediaan air mineral. Perjalanan dilanjutkan dan sekitar 1 jam kemudian kami tiba di Pertigaan Desa Linggarjati. Namun sampai disana ternyata Jalur pendakian via Linggarjati masih ditutup, kami lalu memutar menuju jalur pendakian Linggasana yang letaknya tidak terlalu jauh.


Jumat, 22 April 2011 @10.00
Kami semua tiba di Pos Linggasana dan menyerahkan fotokopi KTP/Identitas diri untuk SIMAKSI, ternyata Pasid lupa membawa KTP, suatu keajaiban ternyata di dompet saya ada fotokopi KTP peserta Pendakian Umum STAPALA tahun lalu. Jadilah pasid mendaftar SIMAKSI sebagai “Andre Tampubolon” (identitas di fotokopi KTP), bahkan karena terdapat cukup banyak fotokopi KTP di dompet saya, ebas kemudian meminta tiga lagi untuk temannya yang rupa-rupanya juga lupa membawa KTP. Weleh-weleh....
Pendakian pagi itu dimulai pukul 10.15, kami adalah rombongan pertama yang berangkat. Dari Pos I ini, pendakian dimulai dengan melintasi perumahan penduduk dan peternakan ayam dikiri kanan jalan. Tak lama kemudian kami memasuki kawasan perkemahan Cigenteng.
 
Jumat, 22 April 2011 @12.00
Kami mulai masuk ke kawasan hutan, medan yang kami hadapi terus menanjak, gunung ciremai memang memiliki tingkat kesulitan cukup tinggi, kecuraman rata-rata jalur Linggarjati/Linggasana mencapai 70 derajat, hal inilah yang membuat jalur ini menantang sekaligus menyiksa pendaki. Tidak lama kemudian kami memasuki belukar rerumputan, jalur yang kami lewati tampak tertutup rumput setinggi pinggang, maklum linggasana adalah jalur yang baru dibuka awal tahun lalu. Di beberapa lokasi yang agak terbuka kami bisa melihat garis pantai utara Jawa.
Sekitar pukul 13.30, kami sampai di Pos Condang Amis (1350 mdpl). Di titik ini, jalur Linggasana bertemu dengan jalur Linggarjati. Sebelum Condang Amis terdapat sumber mata air yang berjarak 5 menit dari shelter, tapi untuk sampai ke sumber mata air ini harus hati-hati karena medannya sangat curam dan licin. Dahulu sebelum jalur Linggasana belum dibuka, tidak banyak yang tahu ada sumber mata air disini. Mungkin karena jalur Linggarjati tidak melewati daerah tersebut, padahal jarak sumber mata air dan pos Condang Amis tidaklah terlalu jauh. Dan ini merupakan suatu keuntungan, karena jika pendaki melewati jalur Linggarjati, sumber air terakhir ada di pos Cibunar yang berada di ketinggian 750 mdpl, bandingkan dengan Condang Amis yang berada di ketinggian 1.350 mdpl.

Jumat, 22 April 2011 @16.00
Kami telah melewati tanjakan Seruni dan sekitar pukul 16.20 kami sampai di tanjakan tanjakan Binbin. Perjalanan yang kami lalui sangat menguras tenaga, medan yang menanjak dan tanah licin menyulitkan pendakian, seringpula kami mesti melalui jalur dengan menarik akar pepohonan. Anggota team berjalan stabil walau agak lambat. Sekali-kali kami berhenti untuk beristirahat, menarik napas. Sambil beristirahat, saya perhatikan sekeliling, aneh, sampai sejauh ini, saya tidak menemukan “Jus ciremai” yang tiga tahun lalu cukup banyak saya temui. “Jus ciremai” yang saya maksud adalah air seni yang ditampung pendaki, biasanya di botol minuman mineral. Ada alasan klenik untuk perbuatan nyeleneh ini, konon katanya ada larangan untuk buang air kecil di gunung Ciremai, air seni pendaki pamali menyentuh tanah Ciremai. Karena itu para pendaki buang air kecil di botol, lalu menggantung “Jus ciremai” itu di dahan pohon. What a freak!!

Jumat, 22 April 2011 @ 19.00
Kami sepakat untuk menghentikan pendakian pukul 19.00 dan nge-camp di shelter terdekat. Dan ketika hari beranjak malam, kami telah tiba di pos Bapa Tere. Kami memutuskan untuk nge-camp disini, ternyata rombongan ebas juga memasang tenda di pos yang sama.

Jumat, 22 April 2011 @20.00
Kami membawa dua tenda, masing-masing ada di carier saya dan gawon. Beberapa dari kami mendirikan tenda dan menyusun carrier. Saya dan Ikhlas memasang kompor dan memasak makan malam. Krisis air membuat menu yang membutuhkan air banyak seperti sayuran menjadi sesuatu yang dihindari. Dalam perjalanan kali ini pun kami tidak membawa bekal sayuran.
Di samping tenda kami ada tenda pendaki lain, dia lupa membawa frame dan menggantung bagian ata tendanya ke dahan pohon, lumayan berhasil, tenda bisa berdiri meski angin kecil tampaknya bisa merubuhkannya kapan saja. Rombongan team dan rombongan Ebas sudah menawarkannya untuk tidur di tenda kami saja, mereka menolak dengan sopan.
Setelah makan dan bermain truff (mainnya ga niat, cuma 2 menit doank), kami memutuskan untuk tidur, tanpa kesepakatan akan bangun dan mulai mendaki jam berapa esok pagi. Padahal saat itu baru pukul 20.00. 

Sabtu, 23 April 2011 @03.00
Waktu masih menunjukkan pukul 03.00 pagi. Karena malam sebelumnya kami tidur lebih awal, kepala saya rasanya segar meski di luar masih gelap. Saya tanya gawon apa dia pengen lanjut pendakian subuh atau nunggu sampai matahari terbit. Dia bilang ok, yang lainnya mengikuti. Akhirnya kami putuskan untuk mendaki dengan meninggalkan tenda. Kami hanya membawa satu carrier berisi makanan dan 3 liter air. Saya sadar sebenarnya tidak mungkin mengejar sunrise di puncak. Jarak pos bapa tere ke puncak masih teramat jauh, ketinggian pos Bapa Tere sendiri baru sekitar 2200 mdpl. Dan waktu yang kami miliki hanya 3 jam sebelum matahari pagi terbit.

Sabtu, 23 April 2011 @04.00
Perlahan kami naik beriringan, headlamp saya kehabisan batere, apa boleh buat. Saya mengandalkan senter dari rekan yang lain. Belum berapa lama, tiba-tiba Ikhlas mengaku mual. Setelah minum air dan beristirahat sejenak, perjalanan dilanjutkan. Hanya berselang beberapa menit, kembali dia drop dan meminta izin untuk kembali ke tenda. Ah... ini orang sudah berapa kali gagal muncak, koq masih secepat itu menyerahnya, pengalaman merapi-sumbing sepertinya ga membekas di kepala anak ini. Saya tau dia masih ragu-ragu antara lanjut naik atau turun ke tenda. Alih-alih memberi semangat saya malah berteriak dari atas.
kalau mau turun, turun saja, kau tau khan jalannya??
Tak ada jawaban dari bawah.
Dan terbukti motivasi pendekatan negatif ini berhasil, dia ikut melanjutkan pendakian.
Sekitar pukul 05.00 pagi kami beristirahat di beberapa shelter dan melihat semburat kuning dari ufuk timur. Matahari sudah mulai terbit, sunrise yang indah meski bukan di puncak gunung. Toh... sunrise di puncak menurut saya bukanlah syarat mutlak suatu pendakian yang ideal.

Sabtu, 23 April 2011 @05.30
Perlahan akhirnya kami sudah hampir sampai di alun-alun Pengasinan, pos terakhir. Disinilah tiga tahun lalu saya memasang tenda di tengah badai. Kami mengambil beberapa foto, di pos ini terdapat beberapa tanaman edelweis meski tidak sebanyak di Suryakencana atau Mandalawangi. Setelah beristirahat kami melanjutkan perjalanan ke Puncak yang berjarak sekitar 1 jam pendakian. Dan akhirnya setelah beberapa jam pendakian yang menyiksa lutut, betis dan punggung.
Puncak !!!


Sabtu, 23 April 2011 @07.00
 Saya merupakan salah satu yang terakhir mencapai puncak. Pemandangan yang luar biasa, matahari cerah. Kami bisa melihat kawah mati Ciremai, kedalamannya mungkin sekitar 300-400 m dari bibir kawah. Berwarna dominan putih bercampur cokelat muda. Di sekitaran kawah terdapat semak belukar yang menjorok ke dalam kawah. Diameter kawah cukup besar, lumayan memakan waktu jika harus mengelilinginya. Puncak Ciremai adalah tipikal puncak gunung yang saya suka. Dari atas sini, kami bisa melihat gunung Salak, gunung yang memiliki puncak hanya berupa hutan pepohonan, kata beberapa teman yang pernah mendaki ke sana. Saya tidak pernah punya minat mendaki gunung seperti Salak.
Ada papan di dekat kami beristirahat, tertulis “Puncak Panglongokan 3027 mdpl. Ini bukanlah titik tertinggi di Ciremai, kami harus menyusuri kawah untuk bisa mencapai titik tertinggi (3078 mdpl). Namun niat untuk mengelilingi kawah terpaksa kami urungkan karena air yang kami bawa amat minim. Cukuplah itu, perbedaan 51 meter tidak akan mengubah apapun. Hehe...


Sabtu, 23 April 2011 @08.00
Setelah puas menikmati pemandangan dan mengambil beberapa foto, kami pun segera turun. Perjalanan turun kali ini terasa berbeda dengan tiga tahun lalu. Turun via linggarjati/linggasana saya tidak bisa berlari karena jalur terlampau curam, kita harus melangkah turun perlahan dan berhati-hati. Di jalur ini juga cukup banyaknya pohon tumbang yang mengingatkan saya dengan jalur pendakian Pangrango. Hal ini berbeda jika kita turun via palutungan, jalur yang lebih landai dan kadang datar sehingga pendaki bisa turun dengan berlari-lari kecil. 
Air 3 liter bekal kami buat naik dan turun dari Bapa Tere – Puncak ternyata tidak cukup. Kami start turun dari puncak dengan bekal aqua botol yang tersisa separuh. Perjalanan turun dengan kerongkongan kering, kami turun dengan cepat, masing-masing seperti berlomba untuk sampai di tenda, untuk minum. Satu pelajaran penting hari itu : Bawa air sebanyak yang bisa dibawa.
Sabtu, 23 April 2011 @10.00
Saya yang lebih dulu tiba di Bapa Tere, berlari ke tenda, minum.... tak jauh dari tenda tampak dua pendaki asal depok sedang beristirahat, mereka rupanya sedang menunggu temannya dari puncak.  tidak lama kemudian hujan turun, satu per satu angota team sampai di tenda, pendaki depok tadi awalnya kami undang untuk masuk di tenda, tapi mereka lebih memilih untuk memasang flysheet untuk berteduh. Hujan yang makin deras membuat air pelan-pelan merembes kedalam tenda. Beberapa dari kami sibuk mengurus carrier masing-masing seperti hendak bekemas turun. Saya katakan ke Pasid, “Sid, kau jangan packing dulu, tenda ini kau yang bawa turun, gantian.” Tapi ternyata jawaban balasan darinya sangat tidak enak didengar, tanpa tedeng eling-eling, dia menolak dengan alasan kakinya sakit (??), memangnya siapa yang kakinya tidak sakit di perjalanan ini? saat itu hujan sedang deras-derasnya. Mendengar jawabannya itu, rasanya benar-benar dongkol, saya keluar dari tenda
Begitu keluar dari tenda, saya baru sadar kalau diluar ada rombongan anak Arkadia yang sedang berteduh di flysheet pendaki depok tadi, berteduh dari hujan. huh.... daripada ada di tenda bareng manusia cule mendingan keluar saja. Karena baju kering cuma tersisa satu, yaitu yang menempel di badan, saya amankan baju itu. Yah... telanjang dada di tengah hujan deras dingin di gunung, toh raincoat saya juga sudah basah total. Sayapun berteduh di flysheet bareng anak Arkadia, obrolan panjang yang berakhir dengan transasksi gas ditukar dengan rokok. Kebetulan gas yang kami bawa berlebih banyak.
Hujan beranjak reda sesaat, gawon keluar tenda, karena air yang tersisa tinggal tiga botol aqua (4 L), tidak ada cukup air untuk masak sehingga kami berencana untuk makan siang di condang amis saja. Kami benar-benar kelompok dungu, karena tidak ada yang punya inisiatif untuk menampung air hujan tadi. Tapi alam ciremai nampaknya sedang menunjukkan kemurahannya, tak lama berselang hujan kembali turun, kali ini lebih deras lagi. Gawon segera mengumpulkan botol aqua kosong dan mengambil air yang tertampung di atas flysheet milik pendaki depok tadi. Air berlimpah, kami bisa masak, kami bisa makan siang disini.
Hujan masih sangat deras ketika kami masak, moment ini adalah saat paling menyenangkan dalam perjalanan ini. Kami keluar tenda, beberapa membuka baju, bernyanyi, berteriak, tertawa keras di tengah hujan yang sangat lebat. Membuat iri para pendaki yang naik dan turun dengan raincoat tebal mereka. Moment ini layak dikenang jika saja ada kebersamaan yang utuh, maksud saya, tidak ada yang tetap di tenda, menunggu yang lain memasakkan sesuatu buat perutnya, aslilah, di perjalanan ini lw bener-bener kayak TAI sid !!! malas gw satu perjalanan dengan lw lagi !!

Sabtu, 23 April 2011 @11.30
Hujan sudah mulai mereda, Tenda tanpa frame milik tetangga benar-benar hancur, didirikan persis di jalur air. Yang empunya tidak kelihatan, mungkin masih di atas. Kami pun melipat tenda naas itu, mengamankan barang-barangnya dalam trash bag. Setelah itu kamipun mempersiapkan diri untuk turun. Packing dan melipat tenda, kembali saya dan gawon yang membawa tenda. Bergegas turun..

Sabtu, 23 April 2011 @13.00
Perjalanan turun kami cukup lancar, tidak ada hujan lagi. Pada dasarnya jalur di Ciremai cukup jelas. Meski begitu terdapat beberapa cabang jalan yang membingungkan, beruntungi kami dituntun oleh tanda medan seperti tali berwarna yang diikatkan pada dahan pohon sebagai penunjuk jalan. Melintasi Pangalap, Kuburan Kuda, Condang Amis, keluar kawasan hutan, memasuki kawasan Pohon Pinus dengan jalur rumput setinggi pinggang dan akhirnya masuk ke wilayah ladang penduduk.

Sabtu, 23 April 2011 @18.00
Ketika kami tiba di daerah ladang penduduk, hari sudah mulai gelap. Dibawah ternyata  Ebaz dan dua temannya sudah berada di warung penduduk. Rupanya dari sekitar 20-an pendaki yang kemarin medaki, hanya kami yang turun malam ini. Sisanya sepertinya memilih untuk nge-camp satu malam lagi di atas. Dua teman ebas adalah mahasiswa STAN juga, kami sepakat untuk bareng pulang ke Jakarta, setelah beristirahat sejenak.

Sabtu, 23 April 2011 @19.00
Kami turun ke bawah menuju pertigaan Linggarjati lalu terus hingga keluar pertigaan Cilimus. Berjalan kaki. Dari situ kami menumpang Bis 3/4. Ongkosnya 5 ribu untuk sampai ke Terminal Cirebon, atau 10 ribu jika mau langsung ke stasiun. Kami memilih untuk turun saja di terminal dan menunggu Bus yang ke Jakarta dan turun di Lebak Bulus. Setelah perjalanan kurang lebih setengah jam kami sudah tiba di putaran Terminal Cirebon dan mulai menunggu Bus. Kami menunggu hampir 1,5 jam kemudian sampai Bus Luragung melintas, harga tiketnya Rp 35 ribu sampai ke Terminal Lebak Bulus. Pulang....

Minggu, 24 April 2011 @03.00
Kami tiba di Terminal Lebak Bulus Jakarta Selatan dan menumpang angkot 08 yang menghantarkan kami sampai ke Kampus STAN, sementara Ikhlas sudah lebih dulu meninggalkan kami dengan  menumpang Bajaj dari Lebak Bulus.

Sampai juga di rumah, dengan kepala segar dan betis ngilu...

Quote perjalanan ciremai,”KALAU GA BODOH, MAHO....” tanya Gawon kalau mau tau artinya, hahaha....
Perjalanan ini yah... not bad lah cuy.... J