Rabu, 21 Juli 2010

Wisata Baduy 2010 (3-4 Juli 2010)

Saya : “Jadi kenapa orang Baduy tidak boleh naik kendaraan?”
Jali : “ya, karena adat larang (melarang) kang”
Saya : “kalau melihara kambing dilarang, alasannya apa kang?’
Jali : “Itu sudah aturan adat.”
Saya : “ehmm.. itu kepercayaan Sunda wiwitan, saya dengar mengenal Nabi Adam. Kepercayaan Orang Baduy itu seperti apa kang?”
Jali : “kalau itu mah, yang paham tetua adat kita kang, saya kurang mengerti.”

Waduh, lugu sekali pemikiran masyarakat Baduy ini. Tidak menanyakan kenapa? Atau untuk apa? Sedikit kesal saya sebenarnya. Apa memang Jali, orang Baduy yang menjadi guide kami, dasar tidak tau apa-apa ataukah semua masyarakat Baduy memang orang-orang yang teramat polos untuk sedikit memberontak dan bertanya “kenapa?”

Perjalanan kami, gabungan beberapa anggota STAPALA dan mahasiswa STAN ke Cibeo, salah satu dari tiga desa Baduy dalam. Perjalanan melelahkan dari Pondok Ranji dengan kereta ekonomi ke Rangkas Bitung selama 3 jam lalu dilanjutkan perjalanan menembus hutan selama 5 jam. Kami menginap di dua rumah masyarakat Baduy Dalam, yang dengan uniknya dibangun dengan kayu dan dibangun tanpa logam (paku). Kalau kata aneh terdengar kurang sopan baiklah kita sebut mereka berbeda. Dan memang mereka berbeda dari kita. Sebuah komunitas yang menolak modernitas, begitulah masyarakat luar seperti saya menilai. Hanya masalah diksi sebenarnya. Menolak modernitas atau menolak dijangkiti rakusnya dunia luar.

Hal yang sangat saya hargai dari masyarakat Baduy adalah kejujuran dan kesederhanaan.
Betapa saya sangat tertegun melihat jejeran lumbung padi yang berukuran 1,5m X 1,5 m dibangun cukup jauh dari pemukiman dan tidak diberi pengaman atau gembok sama sekali. Tidak adakah pencuri disini? Weleh…

“ya sekadarnya sajalah”
Begitu terucap dari Jaro (kepala desa Baduy luar) ketika saya bertanya tarif masuk, ongkos menginap dan guide yang akan kami gunakan selama perjalanan. Dan mereka memang tidak mematok harga. Berapapun yang diberi pengunjung. Mereka akan terima.

Mereka menyambut kami dengan senyum tulus, dan sungguh ini bukan hiperbola, karena saya tau seperti apa senyum yang tulus. Di salah satu rumah, kami disuguhi pisang dan semacam umbi berikut gula aren. Mereka orang-orang yang hangat.

Tidak ada listrik disini, tentu saja, pukul 8 malam sudah tidak ada yang menarik di desa ini, hanya ada bunyi serangga, riak air sungai di sebelah desa dan sinar lampu minyak sayur. Saya bosan, sungguh saya tidak habis pikir bagaimana rasanya menghabiskan hidup dengan melewati ribuan malam membosankan seperti ini. tanpa internet, tanpa tayangan bola, tanpa televisi, tanpa hal-hal yang kita anggap biasa.
Tapi mereka bisa tersenyum dengan kehidupan macam itu. Jadi siapa sebenarnya yang harus iri hati?

Orang-orang yang bisa bahagia dari hal-hal sederhana adalah orang yang paling kaya. Dan merekalah orang-orang itu.

Hehehe…Saat ini saya tidak punya sepatu (dibuang Edhel-825 dari posko), handphone saya juga nyaris hancur sempurna. Tapi mengingat perjalanan ini, saya malu untuk mengeluh.

Gunung Sumbing (25-27 Juni 2010)


Ditandatanganinya KTTA oleh dosen pembimbing walau di saat-saat injury time memantapkan niat saya untuk kembali mendaki gunung. Gunung Sumbing, tak begitu jelas darimana ide perjalanan ini muncul. Team dibentuk, terdiri dari rekan-rekan STAPALA Erik-840, John Smith-851, Tinton-882, Ossy-883, Pita-901 dan saya sendiri yang berangkat dari kampus STAN Juramangu hari Jumat petang, 25 Juni 2010. Adapun Iqbal-877 (satu-satunya non-mahasiswa di perjalanan ini) dan August-839, apache yang akan PKL di kampung halaman rencananya akan bergabung bersama kami di Magelang. Semua anggota team belum ada yang pernah mendaki ke Gunung Sumbing sebelumnya. Semangat menggebu, rasanya sudah tidak sabar lagi.

Gunung Sumbing terletak di Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, dengan ketinggian 3371 mdpl. Gunung ini selain menjadi bagian penting kota Wonosobo juga menjadi tujuan favorit bagi para pendaki karena tingginya lebih dari 3000 meter dan merupakan puncak kedua tertinggi di Jawa Tengah. Tepat di samping Gunung Sumbing terdapat Gunung Sindoro. Dua gunung ini adalah pasangan seperti halnya gunung Gde-Pangrango, Merapi-Merbabu ataupun Raung-Argopuro.

Berangkat dari Bintaro ke Stasiun Tanah abang lalu dilanjutkan perjalanan panjang ke Kutoarjo dengan kereta Bengawan. Ini merupakan perjalanan kereta api pertama bagi Pita, Karena di Pare-Pare, kota asalnya tak ada kereta, dia agak sedikit shock rupanya, tak ada tempat duduk bagi kami, terpaksalah pasang lapak di samping toilet. Duduk beralaskan carrier, kami berdua pun harus merasakan pinggul dan kaki para penjaja yang lalu lalang sepanjang malam. Sedangkan anggota team yang lain rupanya tak bernasib lebih baik. Mereka duduk sesak di pinggir pintu kereta. Hanya butuh sedikit pemantik saja untuk menimbulkan konflik di tempat seperti ini. Dan benar saja, pengalaman tidak enak rupanya dialami Ossy. Hanya karena pandangan mata yang dianggap menantang, seorang lelaki setengah baya bertengkar mulut dan mengeluarkan ancaman kepada sobat kami ini. Kurang tidur dan kelelahan rupanya membuat beberapa orang jadi gila.

Meski sudah cukup sering naik kereta api, tetap saja saya miris melihat kondisi transportasi murah yang satu ini. Dalam keadaan normal kebanyakan orang-orang masih malu duduk jika ada orangtua atau wanita yang berdiri di depannya. Tak begitu dengan kondisi di kereta ini. Solidaritas dan rasa segan hilang. Perjalanan kereta malam selalu menyiksa. Tanpa sedikitpun tertidur, kami sampai di Kutoarjo pukul 05.00 pagi. Mampir sebentar di masjid, sholat bagi yang sholat.

Di Kutoarjo, Iqbal bergabung dengan kami, perjalanan lanjut dengan bus ke Magelang. Ini pertama kalinya saya ke Magelang, reputasinya sebagai kota indah yang sering saya dengar tidak terbukti, tapi cuaca di kota ini cukup sejuk dan nyaman. Di Magelang tepatnya di Secang, anggota team bertambah oleh August dan Adi, adiknya yang kuliah di UGM. Dari Secang kami naik bus menuju Parakan, sedangkan August dan Adi naik motor. Dari Secang sesuai rencana kami akan naik angkutan lagi menuju Base Camp di Dusun Garung. Di perjalanan, kernet bus menawarkan diri mengantar kami langsung sampai Base Camp Gunung Sumbing di Dusun Garung. Tarif dipatok Rp 100.000,00 kami tawar Rp 60.000,00 mereka menolak. Ya sudah, tak ada kata deal disitu. Karena tak ada anggota team yang paham dimana lokasi Parakan ataupun Dusun Garung, kami hanya menunggu sampai diturunkan di trayek akhir, Parakan. Kami terkejut karena ternyata kami diantar langsung sampai Base Camp Gunung Sumbing di Dusun Garung dan kernet menagih ongkos Rp 100.000,00. Apa-apaan ini? Kami menolak mentah-mentah. Berdebat dengan supir dan kernet, kami ngotot tak mau membayar. Kami bertambah jengkel, ketika penjaga warung yang ikut nimbrung mengatakan ongkos normal dari Secang hanya Rp 7.000,00 berarti kalau kami ber-tujuh, ongkos normal hanya Rp 49.000,00.

“wis ngene wae, kowe rugi ,kowe yo rugi,, podo-podo rugine,,pitungpuluhlimo wae. “

Begitulah penjaga warung mencoba menengahi. Perang urat leher berakhir dengan nilai ongkos yang disepakati Rp. 70.000,00. Dalam hati, saya masih menyumpahi beberapa pihak di daerah wisata yang seringkali “ajimumpung”, baru dua hari sebelumnya saya juga mengalami hal serupa ketika berkunjung di desa Karekes, Kampung Badui, diperas oleh ongkos angkutan dan biaya rumah makan dengan harga yang tak masuk akal. Apa mereka kira hanya kalangan berduit saja yang berhak menikmati wisata.

Jam di handphone pukul 11.00 ketika kami sampai di basecamp Gunung Sumbing. Terletak di Dusun garung, Desa butuh, Kecamatan Kalikajar, Kabupaten Wonosobo, tempat ini cukup nyaman dan luas. Setelah mengurus perizinan pendakian dan membenahi carrier, team memulai pendakian.

Pendakian

Ada dua jalur pendakian yang bisa ditempuh, jalur lama dan jalur baru. Dari informasi yang kami dapat jalur baru dibuka karena jalur lama sudah terkena erosi dan sudah mulai tertutup semak ilalang. Meski begitu beberapa rekan STAPALA yang pernah mendaki malah menyarankan jalur lama. Team sepakat untuk naik dari jalur baru dan turun nanti lewat jalur lama.

Awal pendakian mulai pukul 11.30, dari Base Camp jalan lurus terus, melewati perkampungan, sesaat kemudian hamparan ladang tembakau menyapa kami. Di kiri kanan kami tembakau, tembakau, tembakau sekali-kali diselingi cemara. Menyinggung sedikit masalah tembakau, dalam perjalanan ini, anehnya, perokok adalah minoritas, hal yang cukup janggal untuk rombongan pendaki. Jalur yang kami lalui cukup menanjak dan berupa tanah merah tanpa bebatuan. “Apa jadinya pendakian ini kalau kondisi hujan? pasti licin sekali…” batin saya.
Dari sembilan anggota pendakian ini, Ossy adalah satu-satunya yang belum pernah mendaki gunung sebelumnya. Ini adalah gunung pertama baginya. Awal pendakian dengan semangat menggebu, dia mendahului rekan yang lain. Saya hanya tersenyum kecil ketika beberapa saat kemudian, seperti dugaan, sobat kami ini mulai kelelahan dan mulai sering meminta waktu beristirahat.

Beberapa saat mendaki melintasi ladang pertanian, kami mulai memasuki jalur bebatuan. Jalur bebatuan ini dikenal rawan longsor, dengan berhati-hati kami mendaki. Dari jauh terlihat Gunung Sindoro, cuaca cerah dan saya lihat nyaris separuh lereng gunung itu sudah berupa ladang pertanian. Pembabatan hutan untuk diubah jadi ladang memang terlihat ganas di Sindoro dan tampaknya hal serupa juga terjadi di Gunung Sumbing yang sedang kami daki. Butuh waktu yang cukup lama untuk mendaki melintasi ladang tembakau hingga akhirnya masuk daerah hutan. Ladang tembakau sudah lumayan menggerus lereng gunung. Aduhai tembakau, tanaman dan hasil olahanmu rupa-rupanya sama-sama merusak.
Sesaat kemudian kami berpapasan dengan beberapa pendaki yang turun. Sedikit mengobrol, mereka memberi informasi, pos satu sudah dekat dan ternyata sudah rubuh. Benar saja beberapa saat kami sampai di reruntuhan bangunan semi-permanen. Kami sampai di pos satu. Dahulu bangunan kecil ini bisa dipakai untuk bermalam atau sekadar berteduh. Satu hal yang menarik, sebelum pos satu ada sungai kecil atau lebih tepat disebut daerah aliran air, karena sungai ini hanya mengalir ketika kondisi hujan. Beberapa cerita tentang pendakian Sumbing, sungai ini cukup deras ketika musim penghujan dan pendaki harus berhati-hati melakukan penyeberangan basah. Sekilas saya lihat lokasi sungai kering dihadapan kami, cukup lebar meski tidak dalam. Wah untung saja tidak hujan.
Sepanjang pendakian kami susul menyusul dengan rombongan pendakian lain. Mereka nampaknya tak terburu-buru mendaki, karena jalannya begitu lambat dan seringkali istirahat. Meski anggota team, terutama Adi dan Pita tak bisa dikatakan cukup cepat dan stabil mendaki, kami akhirnya meninggalkan rombongan pendaki tersebut, mereka tak bisa menyusul lagi setelah team melewati pos dua.

Pos dua berupa bangunan kecil terbuka, dan disana telah didirikan dua tenda. Tampak beberapa pendaki memutuskan nge-camp di tempat tersebut. Kami lalu mendaki lagi, rute mulai sempit. Pemandangan di sebelah kanan kami perbukitan hijau terbuka mengingatkan saya dengan bukit hijau segar serupa di Pulau Samosir. Sesekali terdengar dari kejauhan “kukuruyukkkk…“ Wah, ternyata masih ada ayam hutan disini. Waktu sudah menunjukkan pukul 15.30.

Pendakian dilanjutkan, menjelang sore, Team pendaki dihadapkan dengan medan yang menanjak dan cukup curam. Banyak bebatuan yang sering longsor bila kita injak dan banyak lubang-lubang bekas aliran air. Jalur pun sangat berdebu. Team sempat berhenti lama untuk menikmati sunset tapi tak ada yang tampak karena posisi matahari ternyata tertutupi oleh Gunung Sumbing, kami tak bisa melihat Mentari terbenam dari posisi pendakian. Tapi jauh disana, tampak awan menggumpal seperti kasur, pemandangan yang menakjubkan, rasanya saya bisa melompat dan tidur di sana. Menurut peta, team seharusnya menemui pertigaan, Daerah Pestan, yang merupakan pertemuan jalur lama dan jalur baru. Tetapi malam turun, kondisi mulai gelap saya tidak sempat memastikan dimana pertigaan tersebut.

Gerhana

Pukul 19.00, malam semakin gelap. Tidak ada bulan, saya heran sekali karena malam sebelumnya kami sempat mengaggumi bulan yang purnama sempurna. Tapi bintang bertaburan, indah sekali. Kami menemukan lokasi tanah datar yang terbuka, angin kering dingin bertiup kencang. Bukan kondisi sempurna untuk mendirikan tenda, tapi kami tak punya banyak pilihan. Selain telah lelah, tempat datar sepertinya akan sulit ditemui jika perjalanan kami lanjutkan. Dua Tenda didirikan, berdampingan. Kompor gas dinyalakan, dan kami mulai sibuk memasak sambil berbincang seru. Memang benar adanya makanan apapun yang disajikan akan tetap terasa lezat di iklim dingin pegunungan. Selagi mendidihkan air untuk menyeduh kopi, tiba-tiba Iqbal nyeletuk “Hey! tadi bulannya sabit, koq sekarang jadi bulan separo?” Hah..?? benar saja, tapi tadi terakhir saya lihat malah tidak ada bulan sama sekali. Lama kami memandang bulan. “Lho, koq bulannya jadi purnama?” Tanya saya entah kepada siapa. Bulan diatas terlihat perlahan-lahan berubah tampak semakin penuh dan akhirnya bulat sempurna. Nantinya setelah turun dan sampai Jakarta, akhirnya kami tahu memang sedang terjadi gerhana bulan malam itu.
Malam terlalu indah dan perjalanan terlalu jauh hanya untuk dihabiskan meringkuk tidur di tenda, waktu menunjukkan pukul 20.30. jadi kami bercerita cukup lama di tenda, cerita tak berujung pangkal. Menertawakan kebodohan masing-masing selama perjalanan. Tentang Ossy yang terjatuh dalam tidur di Bus menuju Magelang, tentang saya yang begitu bodohnya mencuci wajah di pancuran air tolet gantung di mesjid stasiun atau juga tentang masa kecil Pita. Malam larut masih bercanda ria, ketawa-ketiwi, saling menghina kebodohan masing-masing, hahaha.. Senangnya rasa hati. Indahnya persahabatan ini. Malam bertambah larut, kami pun beristirahat. Tidur.

Summit Attack
Srrrrttttttttttt….
Bunyi resleting tenda itulah yang membuat saya terjaga. Terbangun dengan sedikit enggan, saya melihat keluar tenda, ternyata John sedang memasak mie instan. Pukul 03.00 pagi. Dia terbangun karena kondisi tenda lafuma kuning kami terlalu sesak dan membuatnya tak bisa tidur lagi. Hmmm... bisa dimaklumi, kami membawa dua tenda, tenda pertama disesaki oleh enam orang, padahal tenda lafuma itu kapasitas normalnya 4-5 orang. Jadilah kami berenam tidur dalam posisi miring. Tenda kedua hanya diisi tiga orang. Hal ini dilakukan demi kenyamanan Pita, anggota cewek satu-satunya di perjalanan ini.

Karena sudah terbangun, saya memutuskan untuk segera saja mendaki lebih awal agar dapat sunrise di puncak Sumbing. Setelah semua anggota team saya sadarkan dari tidur, ternyata dari sebilan anggota team, tiga orang memutuskan untuk tetap beristirahat di tenda. Jadi hanya enam dari kami yang bersiap untuk mendaki. Kami pun memulai pendakian subuh dengan doa terlebih dahulu. Dingin, berangin tapi begitu terang benderang oleh cahaya bulan. Saya malah enggan memboroskan batere senter karena jalur pendakian cukup jelas dibawah cahaya bulan.

Gunung Sumbing adalah penipu yang ulung, beberapa kali anggota team mengira pucak telah dekat karena terlihat rute pendakian menyempit dan seolah-olah puncak sudah di depan mata. Tapi ketika kami mendaki lebih tinggi, yang ada cuma dataran kecil lalu rute naik lagi, terlihat puncak masih jauh sekali. Benar-benar menyebalkan! Tetapi kalau dipikir lebih jauh, harusnya kami tidak tertipu karena beberapa pos seperti Watu-Kotak dan Tanah Putih belum lagi kami lewati, jadi kenapa berharap akan puncak? meski begitu tetap saja kami terus berharap puncak sesegera mungkin muncul. Jalur semakin menanjak dan seringkali ada tanjakan model 'dengkul ketemu muka' karena terjalnya.
Mendaki naik, kami berjalan di jalur sempit. Tampak ada tenda yang berdiri di jalur pendakian, sebelah kanan tenda tertutup batu, sedangkan tepi kiri ada jurang yang cukup curam. “Ah.. masang tenda koq di tengah jalan?” umpat saya dalam hati. Saya mengambil jalan dengan hati-hati di sebelah kiri, entah karena emosi saya yang sudah di ubun-ubun, kaki kiri saya terperosok ke lubang di sisi jurang, beruntung saya masih bisa menahan badan. Dengan sedikit menggerutu saya melempar botol aqua dan berusaha naik dibantu oleh yang lain. “Masang tenda koq di jalur sih?” teriak salah satu, entah siapa, dari kami. Dan keributan itu ternyata membangunkan si empunya tenda. “Sorry bro!!” terdengar suara dari dalam tenda, hmm… nada permintaan maaf yang terdengar kurang tulus. Anyway, perjalanan naik pun kami lanjutkan, dingin.

“Woi! Matahari! jangan muncul dulu!” saya lihat ke belakang, Ossy yang tadi berteriak. Pantas saja dia berteriak, rupa-rupanya cahaya kekuningan sudah mulai tampak di ufuk timur. Sun rise di puncak gunung nyaris semacam obsesi bagi beberapa pendaki. Teringat saya dengan ucapan salah seorang teman, tujuan mendaki gunung adalah pulang kembali dengan selamat, puncak hanyalah bonus. Sebenarnya saya tidak terlalu setuju dengan pendapat itu, tapi kalau dipikir mungkin ada benarnya. Saya lihat rute pendakian diatas, kembali menyempit, seolah-olah puncak sudah di depan kami. Apakah kali ini kami tertipu lagi? Pos terakhir telah terlewati, beberapa tanjakan yang kami kira puncak terhitung sudah tiga kali menipu kami. Saya mendaki di barisan belakang. Tampak di depan Iqbal sudah melewati tanjakan yang semoga saja merupakan tanjakan terakhir.
Semoga kali ini puncak… semoga kali ini puncak….Ayolah! Saya terus berharap. Rasanya sudah sedikit frustasi dengan track gunung ini.

Terdengar teriakan Iqbal dari atas, lalu teriakan yang lainnya menyusul..

“Puncak…..!!!!!!!!!”

Akhirnya…. jalur bebatuan ini selesai kami daki. Terima kasih TUHAN.

Pukul 05.45, kami sampai di Puncak Sumbing ketinggian 3371 mdpl, tampak Matahari keemasan terbit di Timur, Bulan yang menemani perjalanan subuh pun masih ada di arah Barat, tampak seakan mengalah kepada Sang Mentari. Sementara awan Cumulonimbus berbentuk kol tampak dibawah kaki kami. Pemandangan “Segoro Wedi” atau lautan pasir di kawah Gunung Sumbing. Indah sekali. Puncak Sindoro tampak gagah menjulang menyaingi Sumbing, saudara kembarnya. Jauh di arah Barat Laut Puncak Slamet menyapa. Oh, saya akan mendaki gunung itu suatu saat nanti, semoga.

Pukul 07.15, sambil menikmati pemandangan dan mengambil gambar, kami lalu mencoba sedikit menikmati roti dan istirahat. Selang beberapa saat Team Pendaki memutuskan untuk segera turun, rupanya tak tahan berlama-lama dihajar dinginnya hembusan angin yang meresap sampai tulang,

Perjalanan Turun

Perjalanan turun kami tanpa rintangan, ketika sampai di lokasi tenda penghalang jalan subuh tadi, beberapa pendaki sedang bersiap naik. Awalnya saya tak terlalu sudi menyapa, tapi entah bagaimana mereka tahu kamilah kelompok pendaki yang subuh tadi hampir celaka karena posisi tenda mereka. Ucapan maaf kembali terucap, kali ini dengan nada persahabatan yang jauh lebih tulus terdengar. Saya balas dengan senyum sumringah dan segera kembali berlari turun.

Hanya butuh waktu 1 jam untuk kembali ke lokasi tenda. Di tenda, anggota team yang tidak ikut mendaki August, Pita dan Adi sedang menyiapkan sarapan. Mereka rupanya tidak ingin melanjutkan perjalanan ke puncak. Ah, sayang sekali, mereka khawatir tidak bisa sampai Kampus tepat waktu, karena beberapa anggota team punya jadwal kuliah Senin pagi.
Setelah sarapan, kali ini menu istimewa : sphagethi dan roti bakar isi sarden, kami lalu mengemas tenda dan bersiap untuk turun. Seperti rencana, kali ini turun melewati jalur lama. Diputuskan untuk mengambil jalur arah kanan di suatu pertigaan yang kami yakini adalah pertigaan perjumpaan jalur lama - jalur baru.

Jalur yang kami lalui awalnya cukup jelas, masih terdapat cerukan pijakan kaki yang mantap. Tapi semakin lama, jalur yang kami lalui terlihat tertutupi oleh semak ilalang. Sampah pendaki yang secara ironi merupakan pertanda akan suatu jalur juga tidak tampak. Saya membatin apakah ini jalur yang benar. Semakin jauh kebawah, jalur semakin tidak jelas, beberapa dari anggota pendakian menyarankan agar kami kembali ke atas, ke jalur baru yang lebih pasti. Tinton meyakinkan bahwa dari informasi yang ia terima, jalur lama memang sudah tidak terawat dan tertutup semak. Kami pun terus berjalan. Beberapa lama berjalan, jalur mulai tampak kembali, lega hati kami begitu bertemu pendaki lainnya yang berpapasan dalam perjalanan mereka mendaki ke atas. Kami berada di jalur yang tepat.

Pukul 10.30, kami memasuki ladang tembakau, secara keseluruhan perjalanan turun cukup lancar, sedikit masalah karena jalur walaupun kering ternyata cukup licin, beberapa kali saya sempat terjatuh.

Pukul 11.30, seluruh anggota team telah sampai di Basecamp, setelah membersihkan diri dan menikmati makan siang nasi goreng buatan istri penjaga Basecamp, team segera packing dan perjalanan pulang dimulai. Kali ini tidak dengan kereta. Pertama kami menuju Purwokerto.
Pukul 05.00 Bus yang mengantarkan kami dari Purwokerto sampai di Terminal Lebak Bulus. Pukul 05.30 kami telah kembali ke Juramangu, pulang. Kuliah bagi yang kuliah, membersihkan tenda bagi tidak kuliah.

Ah….

Sungguh ini pejalanan yang menyenangkan. ..

Pejalanan Pergi
Stasiun Pondok Ranji – Stasiun Tanah Abang 4.000
StasiunTanah Abang – Stasiun Kutoarjo(Kereta Bengawan) 28.000
Kutoarjo – Secang, Magelang (Bus) 15.000
Secang – Dusun Garung (Rp 70.000/7) 10.000
Perjalanan Pulang
Dusun Garung – Terminal Purwokerto (Bus) 15.000
Terminal Purwokerto – Terminal Lebak Bulus (Bus) 40.000
Terminal Lebak Bulus – Bintaro (S-08) 3.000